"Hei, coy. Baru segitu. Tanggung. Kamu hebat bisa melakukannya tadi. Aku akan memberimu bagian yang lebih banyak. Okey?" seru Puguh.
Iming-iming Puguh begitu menggodaku. Aku tak bisa menolak kemauannya. Dan kejadian tadi berulang hingga beberapa kali. Tanpa tertangkap. Aku mulai terbiasa.
***
Lama-lama ibu mulai curiga. Saat aku bisa membeli barang seperti handphone bagus dan membeli makanan kesukaan ibu. Aku beralasan bahwa kadang-kadang aku bekerja. Diminta tolong orang untuk menjadi kuli bangunan hari Sabtu dan Minggu pada saat sekolah libur. Awalnya ibu percaya. Tetapi perangaiku yang berubah, membuat ibu cemas.
"Le, kamu berubah. Mata kamu tampak lain. Coba bicara pada ibu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu anak kesayangan ibu. Tumpuan masa depan ibu." kata ibu. Ibu memang senang memanggilku Le, untuk anak laki-laki kesayangannya.
Aku hanya terdiam. Lalu memecah keheningan dengan menjawab, "Kidung baik-baik saja, bu."
Kemudian kami saling diam. Mata ibu kosong, entah memandang apa.
"Ibu tak usah khawatir. Kidung baik-baik saja. Kidung sudah besar dan bisa menjaga diri."
Mau tak mau, gantian aku yang mencemaskan ibu. Ibu yang telah merawatku sejak bayi dan melimpahkan kasih sayangnya meski dengan kesederhanaan. Ibu bersedih karena melihat perubahanku. Itulah yang aku cemaskan. Aku tak ingin melukai hati ibu.
"Hem, ibu, aku hanya ingin sedikit memiliki harta. Dan tak ingin selamanya miskin," kataku dalam hati.
"Le, makan dulu sebelum sekolah. Ada sarapan buatmu. Tadi ibu membeli nasi bungkus di warung pojok."