Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tantangan Menjaga Lingkungan dengan Menanam Mangrove di Sabuk Pantai

20 Desember 2018   01:01 Diperbarui: 20 Desember 2018   15:33 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saat pohon terakhir ditebang, saat sungai terakhir dicemari, saat ikan terakhir ditangkap, barulah manusia sadar, kalau uang tidak bisa dimakan" (www.lindungihutan.com).

Sungguh sebuah ironi, ketika alam yang selama ini memberikan makan bagi umat manusia, akan berkurang. Bahkan habis tak bersisa. Lalu kemana lagi manusia akan melangsungkan kehidupan, jika tak ada lagi sumber daya alam yang bisa digali?

Hanya karena keserakahan segelintir manusia. Hutan-hutan tak ada lagi. Sungai dan laut tercemar. Ikan mati. Sawah telah menjadi lahan pabrik. Petani tak lagi bisa menyediakan padi. Mereka telah menjadi buruh pabrik di lahannya sendiri. Tak memiliki tanah, karena mereka telah menjualnya dan sebagai gantinya menjadi lahan pabrik.

Maka harus ada kesadaran kita untuk menjaga lingkungan, tidak mengeruk sumber daya alam dengan serakah dan ingat untuk memberikan warisan bagi anak cucu. Agar kelak mereka juga bisa menikmati sumber daya alam dan manfaat yang dihasilkan oleh alam.

Beberapa anak-anak ikut sebagai relawan menanam mangrove. (dok. panitia).
Beberapa anak-anak ikut sebagai relawan menanam mangrove. (dok. panitia).
Pagi, hari Minggu, 16 Desember 2018, bertempat di Kelurahan Mangunharjo, Mangkang Semarang, saya menjadi salah satu saksi penanaman 11.000 pohon mangrove bersama ratusan relawan lainnya.

Beberapa orang dewasa, para pemuda dan anak-anak berbaur, bahu membahu, menghijaukan pantai yang ada di lokasi. Tujuannya membuat kawasan hijau di tepi pantai, agar tak tergerus oleh abrasi, melindungi dari gelombang tinggi yang sewaktu-waktu bisa mengancam, juga memberi manfaat bagi masyarakat sekitar dengan tambahan penghasilan.

Beberapa relawan Komunitas Lindungi Hutan yang kebetulan pada saat itu berulang tahun yang kedua, bekerja sama dengan Pemerintah Propensi Jawa Tengah dan Kota Semarang, juga Djarum Foundation sebagai penyedia bibit mangrove.

Dengan gerakan Hastag Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan), komunitas Lindungi Hutan mengajak para relawan untuk lebih peduli terhadap lingkungan dengan langkah nyata dan donasi.

Para relawan dengan senang hati berjalan kaki sejauh lebih dari satu kilometer untuk mencapai lokasi penanaman mangrove. (dok.Nia Nurdiansyah).
Para relawan dengan senang hati berjalan kaki sejauh lebih dari satu kilometer untuk mencapai lokasi penanaman mangrove. (dok.Nia Nurdiansyah).
Mengapa Harus Menanam Mangrove?
Ketika dunia bergerak semakin cepat, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi yang tak lagi mampu dibendung. Dalam perjalanannya yang panjang, semangat eksploitasi alam dilakukan secara berlebihan. Alam dikeruk untuk kepuasan manusia. Didukung dengan budaya kapitalis dan konsumerisme yang semakin berkembang dan membuncah, membuat sebagian manusia lupa akan keseimbangan alam. Juga keberadaan masa depan anak cucu mereka kelak.

Pada akhirnya eksplotasi alam yang berlebihan akan menimbulkan banyak masalah, yang akan dikembalikan kepada umat manusia itu sendiri. Masalah sampah, polusi, keberlangsungan alam yang tak lagi kondusif, perubahan musim dan cuaca, banyak bencana akibat alam yang berubah, menipisnya sumber daya alam, akan memberi dampak yang buruk pada kehidupan sekarang dan masa depan manusia di kemudian hari.

Di kawasan pantai di kota Semarang, yang merupakan sabuk-sabuk pantai, beberapa lokasi hampir 70 persen dikuasai oleh perorangan atau pihak swasta. Selebihnya milik penduduk setempat. Padahal seperti kita ketahui bahwa kawasan pantai haruslah merupakan ruang publik. Bukan merupakan kawasan privat yang tidak boleh dijamah oleh orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun