Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Arti Pulang

22 November 2018   23:55 Diperbarui: 23 November 2018   15:09 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

Aku terus saja memandangi rumahnya. Rumah di mana ia pernah tinggal lama di masa-masa itu bersamaku. Meski tak bisa setiap waktu. Aku merasa bahwa rumahnya memberikan banyak hal. Juga sebongkah kenangan. 

Hal itulah, yang membuatku selalu ingin kembali dan kembali. Walau hanya sekedar melihatnya dan berlalu. Ada kerinduan yang mendalam. Meski kenangan yang ada berhamburan datang dan pergi, entah kemana.

Semalam, bulan penuh membundar, belum sekalipun ia menampakkan diri keluar dari rumah. Ya, ya. Memang, terus saja kegamangan dalam hatiku, tentang dirinya. Setitik celah, tak memberi arti apa-apa. Aku sangat rindu. Aku menunggunya, berharap ia keluar menjemputku.

Ia yang telah memberiku selaksa bahagia, di sela bahagiaku yang lain.

Malam ini, aku membulatkan tekat untuk melangkahkan kaki menuju jalur, dimana bisa jadi langkah kakiku akan berbelok ke arah rumahnya. Aku menyebutnya, pulang. Pada sebuah rumah yang dulu pernah kutinggali. Bersamanya, sebagai kekasihku.

"Siapa? Kaukah Ardito?" tanya perempuan lemah lembut, yang duduk di kursi sembari membaca buku. Sepertinya, ia sedang menunggu seseorang.

Suaranya memberikan gema. Jelas bahwa ruangan dimana ia berada amat luas dan menggema. Aku terdiam. Sepatutnya aku tak harus terdiam. Dan menjawab pertanyaannya. Barangkali, akan lebih baik begitu. Tetapi setiap ucapanku tak akan pernah terdengar olehnya. Juga orang lain. Bahkan angin sekalipun.

Sebenarnya, hatiku sungguh ingin meraung meratapi nasib. Tetapi, apa mau dikata, memang aku harus menjalani duniaku yang seperti ini. Aku merasa sendiri. Bahkan untuk bisa mendekat padanya, aku tak bisa.

***

Mengendap-endap adalah hal yang membuatku tak nyaman dan merasa bersalah. Bagai seorang pesakitan yang dikejar oleh dosanya sendiri. "Maafkan, aku memasuki rumahmu tanpa bilang," kataku dalam hati padanya.

Aku memandangi sekeliling ruangan. Masih seperti dulu. Semua tertata rapi dan tidak berubah bentuk. Sekelibat bayangan datang menjemputku. Suara itu. Dia, di ujung sana yang sedang berbincang. Dengan seseorang. Dan itu, aku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun