Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rumah Ayah

19 November 2018   23:11 Diperbarui: 20 November 2018   02:04 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengenalannya dengan Amy, menjadikan dirinya semakin kuat. Kekasih, yang akhirnya ia nikahi, mampu mendampingi dirinya dan usaha yang ia rintis. Amy merupakan sosok yang mirip ibunya. Wanita setia, mendampinginya saat jatuh bangun. Ia layak mendapatkan kesuksesan yang diraihnya bersama.

Kesuksesan itu tak lepas dari pembelajaran dari kisah ayahnya. Juga nasihat-nasihat ayahnya, yang dulu dianggap suatu hal yang mustahil, tidak masuk akal, hingga ia selalu memberontak. Nyatanya, bahkan nasihat itulah yang membuatnya besar.

Ia pindah rumah menempati rumah barunya. Rumah lama ia tinggalkan, meski ia rawat dengan segala kenangannya. Rumah lama tidak berubah bentuk. Dari halamannya, hingga interior dalam rumah. Semua ia usahakan tetap seperti semula. Ia mau, rumah dan kenangan itu selalu dalam memorinya. Keindahan dengan segala riuhnya.

Ia tak mau kehilangan kenangan itu, setelah ia kehilangan ayah dan ibunya.

Ayahnya meninggal hampir sepuluh tahun yang lalu. Juga ibunya yang menyusul satu tahun kemudian. Jasad mereka dikebumikan di pemakaman dekat rumah. Yang ragawi memang telah tak ada. Tetapi rohaninya bersemayam abadi dalam hatinya. Kasih sayang orang tuanya tak bisa dibandingkan dengan apapun. Juga materi termahal sekalipun.

Nilai-nilai ajaran yang ia terima selama orang tuanya ada, merupakan bentuk cinta kasih. Warisan yang tak ia dapatkan dari kehidupan manapun. Yang tak terbeli dari toko manapun. Kenangan abadi yang membuatnya menjadi laki-laki tangguh. Meski ditengah kegamangan hati dan masalah yang datang bertubi-tubi.  Ia seharusnya tak patut mengeluh.

Sedangkan rumah yang merupakan suatu kenangan yang berharga, sebentar lagi akan menjadi sebuah kampus yang megah. Tak ada lagi kenangan yang indah dengan bentuk rumah yang bisa ia lihat. Sedangkan rumah di sekitarnya telah beberapa minggu lalu rata dengan tanah. Hanya rumahnya yang tersisa, karena menunggu persetujuan dan negosiasi darinya.

"Pak Aradhana, bagaimana? Siapkah bapak menandatangani surat perjanjian ini?"

Akhirnya ia mengangguk.

"Aku harus ikhlas, aku telah memiliki penggantinya." katanya sambil meraung dalam hati.

Semarang, 19 November 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun