Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Ingin Merasakan Oblok-oblok Daun Kopi, Datang Saja ke Sini

4 November 2018   14:34 Diperbarui: 4 November 2018   23:33 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketela goreng yang hangat, baru saja diangkat dari penggorengan. (Dokpri).

Seperti biasa, setiap hari Minggu, kebanyakan dari kita mengisi waktu liburan, menghibur diri dengan refreshing. Bisa bermalas-malasan di rumah, melihat televisi, atau menyalurkan hobi dengan berbagai kegemaran. Misalnya berkebun, melukis, menulis, atau membuat ketrampilan sesuai hobi. Bisa juga jalan-jalan kemana saja yang disuka. Ke mal, pasar, atau tempat wisata.

Bagi saya, pada hari minggu adalah waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Bisa jadi kami cukup berkumpul di rumah dan saya memasak makanan kegemaran mereka. Atau bisa juga jalan-jalan ke tempat yang diinginkan. 

Tetapi saya dan keluarga tidak suka ke mal. Jadi, biasanya saya dan keluarga jalan-jalan ke desa. Bisa ke arah pegunungan atau pantai. Atau sekedar jalan ke mana saja dan mencari warung, jajan, makan, terus pulang.

Pada hari Minggu, kami memilih jalan-jalan ke pegunungan. Ya sekedar jalan. Melihat pemandangan sembari menghirup udara segar. Persawahan yang hijau membentang, hutan pinus, atau sungai yang masih mengalir airnya meski di musim kemarau. 

Biasanya kalau di sekitar tempat tinggal saya, masih ada daerah pedesaan yang di tuju. Daerah Gunungpati Semarang, kemudian naik dan melewati jalan yang berkelok-kelok hingga sampai ke Gunung Ungaran.

Sebenarnya kami jalan hanya menuruti hati, karena sebelumnya belum pernah melewati jalan tersebut. Tidak takut tersesat? Hahaha...sudah sering tersesat. Biasanya saya yang cerewet dan bertanya, "Ayah sudah pernah melewati jalan ini?" Lalu suami saya menjawab, "Belum. Tapi tenang, Bun. Pasti ada jalan dan pasti nyampai deh. Kalau tersesat ya kita balik arah. Gampang, to?" Hem, begitulah. Dan selalu saya manut saja. Toh, berada di tengah-tengah mereka adalah suatu kenyamanan. Tersesat ya ramai-ramai.

Saat jalan itulah, saya menemukan perkampungan yang sepertinya merupakan kampung wisata. Memang tempatnya pelosok di atas pegunungan. Tetapi kampungnya rapi dan tertata. Pagar di tepi jalan perkampungan terbuat dari bambu. Jalannya juga sudah beraspal. Nama kampungnya adalah Desa Kalisidi.

Huruf Jawa ini bacanya Kalisidi. (Dokpri).
Huruf Jawa ini bacanya Kalisidi. (Dokpri).
Stop. Ada warung makan di tepi jalan yang jauh dari pemukiman penduduk dan dekat persawahan. Tempat yang seperti ini yang disukai oleh saya dan keluarga. Jauh dari keramaian dan udaranya masih segar.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 12.00 WIB. Perut kami sudah keroncongan. Ya sudah. Kami berhenti dan turun. Sepertinya warung ini bukan warung biasa, melainkan warung yang sengaja dibuat sebagai pendukung kampung wisata.

Nama warungnya adalah Griya Dahar Sinongko. Ada tiga ibu yang menjaga warung. Lalu menawari kami mau makan apa dan disuruh ambil sendiri. Di tempat lapak mereka, tersedia makanan rica-rica ayam, mangut dan belut yang dimasak pedas. Baiklah. Kami mengambil makanan yang ada di sana. Nasi dan lauk yang telah disediakan. Secukupnya saja. Takut nanti tidak habis.

Warung makan Griya Dahar Sinongko, berada di desa Kalisidi Kabupaten Ungaran. (Dokpri).
Warung makan Griya Dahar Sinongko, berada di desa Kalisidi Kabupaten Ungaran. (Dokpri).
Tiba-tiba salah satu ibu penjualnya bertanya kepada kami, apakah kami mau sayur oblok-oblok daun kopi? Itu menu khas dari warung ini. Lalu saya bertanya, "Loh, memang daun kopi bisa dimasak ya bu? Biasanya kan oblok-oblok dari daun singkong." Mereka menjawab bisa. Tentu saja bukan daun kopi yang sudah tua dan keras, melainkan daun kopi yang masih muda. O, begitu ya? Saya penasaran dan memesan dua porsi. Kalau menu ini, mereka yang mengambilkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun