Kamu memang selalu romantis. Membuatku tak bisa melupakan selalu gerak-gerikmu. Hatiku takluk padamu. Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan segala kata-katamu. Ah.
Tiba-tiba di hari lain kamu mengatakan bahwa kau mendapat bea siswa dari kampus tempatmu belajar selama satu tahun ke depan. Sebenarnya berat hati kau menjalaninya. Kamu tak ingin berada jauh dariku. Ada sebuah dilema yang kau pendam. Hingga akhirnya, keluar juga kata dari dirimu. Bahwa bea siswa itu harus kau ambil, "Kesempatan tak akan datang kedua kalinya, Win." Aku mengangguk mengiyakan. "Kesempatan emas untukmu dan aku," jawabku.
Aku harus merelakan.
Kabut di matamu jelas terlihat. Tapi sorot mata kebahagiaan juga tampak setajam pisau. Kau ingin meraih cita-cita, yang sebenarnya juga untuk diriku. Demi masa depan bersama.
Kau memberiku sebuah cincin, bermata putih bercahaya. "Ini untukmu. Sebagai pertanda, bahwa aku mencintaimu dengan tulus. Pakailah. Mungkin cincin ini bisa bercerita, bahwa cinta kita akan abadi, dan dipertemukan kembali."
"Hai, Bijak. Kau hanya pergi setahun. Tak akan lama. Aku akan setia. Percayalah. Satu tahun hanya sekedip mata. Lalu kita bisa bertemu kembali." kataku menghibur.
Kau tersenyum kemudian memelukku.
"Rajin belajar ya kamu Win. Biar cepat lulus, jangan terlalu banyak kegiatan di kampus yang dirasa tak perlu.
"Iya, sayang."
"Setelah aku kembali, aku akan melamarmu."
"Sungguh?" tanyaku sambil berbinar. Kau mengerlingkan mata. Dan menggodaku, bahwa aku sudah kepengin nikah. Aku mencubitmu pelan. Dan kau pura-pura kesakitan.