Darojati
Sisa-sisa pergumulan semalam adalah luka. Kertas-kertas yang berserakan, sisa-sisa air mata di atas seprai kusut, dan kehampaan. Di atas semua itu, seseorang tertidur dengan riasan luntur seperti bayi. Perempuan yang sedang terlelap dalam mimpi-mimpinya. Setelah semalaman tersesat dalam belantara benaknya. Seseorang itu adalah belahan jiwaku.
Arjani
Aku merasa, ia sedang mengamatiku sekarang. Kadang-kadang, aku tak memahami jalan pikirannya. Mengapa ia keberatan dengan apa yang kulakukan? Aku menyukai duniaku. Keindahan yang abadi. Keindahan yang... hem, aku suka memolesnya. Dengan dentuman dan desiran hati. Tentu saja agar lelakiku bahagia. Ya, bahagia karena memilikiku. Tetapi, mengapa ia tak kunjung mengerti? Hanya satu yang kuiinginkan, lelakiku takluk padaku oleh cintaku.
Darojati
"Bangunlah... matahari sedang memanggilmu." Kusibakkan tirai. Sinar cerah jatuh di wajah tirus belahan jiwaku. Menerangi kulit pucatnya seperti pijar lampu. Ia menggeliat seperti putri tidur yang resah. Kelopak matanya terbuka sesaat, lalu terkatup kembali. Lima detik kemudian, ia mengerjap-ngerjapkan mata dan menatap hampa ke langit-langit.
Arjani
Sinar yang menyilaukan. Terlelap di bahu lelakiku semalam membuatku nyaman. Menjadikanku malas terjaga. Kelopak mataku berat, rasanya enggan terbuka. Selalu saja, aku mendambakan kokoh bahunya, mencari-cari alasan agar aku tetap berada di sampingnya. Namun, jika sudah begitu, tak ada resah yang bisa kuungkapkan.Â
Semua berjalan seperti rutinitas. Entah mengapa. Mungkin karena sepasang mata redup itu, yang tak pernah kutemui di mana pun. Bahkan di sela-sela kelopak bunga yang kuhampiri di pagi hari, yang dulu pernah menyihirku agar aku melupakan segalanya. Sepasang mata redup itu, telah mengalahkan segalanya.
Darojati
"Sudah saatnya kau terjaga. Di dunia kita." Kuucapkan kata kita dengan hati tersayat. Kata itu akhir-akhir ini telah berubah menjadi aku dan kau yang terpisah isi oleh kepala kita dan sulit menyatu kembali. Meski ia selalu mengatakan, aku tetaplah aku yang ia sukai, meski aku hanya mampu memahami separuh dari hal-hal yang yang berseliweran dalam benaknya. Seluruh kamu adalah kamu, lelakiku. Katanya pada suatu pagi yang mendung.