Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kita yang Hidup dalam Cerita

20 Oktober 2018   16:58 Diperbarui: 7 November 2018   17:01 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darojati

Sisa-sisa pergumulan semalam adalah luka. Kertas-kertas yang berserakan, sisa-sisa air mata di atas seprai kusut, dan kehampaan. Di atas semua itu, seseorang tertidur dengan riasan luntur seperti bayi. Perempuan yang sedang terlelap dalam mimpi-mimpinya. Setelah semalaman tersesat dalam belantara benaknya. Seseorang itu adalah belahan jiwaku.

Arjani

Aku merasa, ia sedang mengamatiku sekarang. Kadang-kadang, aku tak memahami jalan pikirannya. Mengapa ia keberatan dengan apa yang kulakukan? Aku menyukai duniaku. Keindahan yang abadi. Keindahan yang... hem, aku suka memolesnya. Dengan dentuman dan desiran hati. Tentu saja agar lelakiku bahagia. Ya, bahagia karena memilikiku. Tetapi, mengapa ia tak kunjung mengerti? Hanya satu yang kuiinginkan, lelakiku takluk padaku oleh cintaku.

Darojati

"Bangunlah... matahari sedang memanggilmu." Kusibakkan tirai. Sinar cerah jatuh di wajah tirus belahan jiwaku. Menerangi kulit pucatnya seperti pijar lampu. Ia menggeliat seperti putri tidur yang resah. Kelopak matanya terbuka sesaat, lalu terkatup kembali. Lima detik kemudian, ia mengerjap-ngerjapkan mata dan menatap hampa ke langit-langit.

Arjani

Sinar yang menyilaukan. Terlelap di bahu lelakiku semalam membuatku nyaman. Menjadikanku malas terjaga. Kelopak mataku berat, rasanya enggan terbuka. Selalu saja, aku mendambakan kokoh bahunya, mencari-cari alasan agar aku tetap berada di sampingnya. Namun, jika sudah begitu, tak ada resah yang bisa kuungkapkan. 

Semua berjalan seperti rutinitas. Entah mengapa. Mungkin karena sepasang mata redup itu, yang tak pernah kutemui di mana pun. Bahkan di sela-sela kelopak bunga yang kuhampiri di pagi hari, yang dulu pernah menyihirku agar aku melupakan segalanya. Sepasang mata redup itu, telah mengalahkan segalanya.

Darojati

"Sudah saatnya kau terjaga. Di dunia kita." Kuucapkan kata kita dengan hati tersayat. Kata itu akhir-akhir ini telah berubah menjadi aku dan kau yang terpisah isi oleh kepala kita dan sulit menyatu kembali. Meski ia selalu mengatakan, aku tetaplah aku yang ia sukai, meski aku hanya mampu memahami separuh dari hal-hal yang yang berseliweran dalam benaknya. Seluruh kamu adalah kamu, lelakiku. Katanya pada suatu pagi yang mendung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun