Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sekuntum Mawar Merah untuk Rie

7 Oktober 2018   16:08 Diperbarui: 10 Oktober 2018   09:13 3093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kebaikan itu kadang egois. Mengapa ada kebaikan yang memaksakan? Mengapa kebaikan itu tak mau di balas dengan kebaikan? Mengapa kebaikan hanya mau memberi, tapi tak pernah mau menerima?

Rie sebel pada Yufa. Padahal Yufa selalu baik padanya. Bukan apa-apa, Rie sebel, karena Yufa jarang sekali mau menerima kebaikannya. Sedang Yufa selalu memaksakan agar ia menerima kebaikan darinya. Egois bukan?

"Kau tak harus selalu baik padaku, Yufa. Aku punya tangan punya kaki. Aku bisa sendiri. Mengapa kamu selalu repot?" tanya Rie pada suatu hari.

"Tak apa, Rie. Aku ikhlas kok. Kamu terima aja."

"Tetapi..."

"Sudah, kamu kan kekasihku. Wajar dong jika aku repot untuk kamu."

Barangkali Yufa tak memikirkannya lebih panjang, jika kebaikannya itu sangat membelenggu Rie. Rie jadi tidak mandiri. Segala kebutuhan Rie, ia yang siap siaga. Akan pergi kemana, Yufa siap mengantarkan kemanapun pergi. Tinggal membonceng, maka ia sampai ke lokasi yang dituju.

Pernah suatu hari Rie ingin berkumpul bersama temannya saat SMA. Ia ingin bernostalgia. Sekedar jajan bakso dan pergi ke mal, seperti dulu saat ia belum menjadi kekasih Yufa.

"Hem, aku segan nih minta tolong pada Yufa. Pasti ia cemberut jika aku minta tolong padanya. Ya, ya, meskipun Yufa akan siap siaga buat nganterin aku. Tapi aku merasa tidak bebas. Bagaimana jika Nana yang cerewet bercerita tentang masa-masa lalu dan menambahnya dengan gosip? Ih, enggak banget deh. 

Bisa-bisa Yufa cemburu dan tidak akan memberi izin buat berkumpul dengan mereka lagi. Aku jadi stres dibuatnya nanti." kata Rie dalam hati. Akhirnya Rie mencari akal, agar ia bisa pergi dan jalan sendiri tanpa diantar oleh Yufa.

"Aku harus mencari akal." katanya dalam hati.

***

Rie kebingungan,  Ia tak tahu ada di lokasi mana. Apalagi ia jarang pergi sendiri. Biasanya ia tinggal membonceng. Wajahnya pias hampir menangis. Apalagi saat ia menghubungi teman-temannya, tidak ada yang bisa dihubungi. 

Duh, kenapa sih begini? Keluhnya dalam hati. Coba tadi aku diantar Yufa, pasti semua beres, tambahnya. Tetapi ia tak mau mengeluh. Bukankah tadi ia memberanikan diri untuk pergi sendiri? Meskipun awalnya ia ragu.

Mana ia tak tahu arah angkutan umum, nomer berapa, jurusan apa. Duh. Benar-benar bikin senewen. Membaca google map? Ia tak pandai membaca peta. Akhirnya Rie putus asa. Satu-satunya jalan yang bisa membantunya, adalah menelpon Yufa. Antara gengsi dan malu juga butuh, ia menelponnya.

"Yufa, tolongin aku, ya. Aku tersesat. Aku tak tahu arah jalan pulang." kata Rie sambil terisak hampir menangis.

Demi mendengar suara kekasihnya, Yufa hampir meloncat dari tempat duduknya. Ia takut Rie kenapa-napa. Meskipun ia tadi hampir tergelak, saat Rie mengatakan tersesat tak tahu arah jalan pulang. Seperti syair lagu saja.

Saat ia menemukan Rie dalam keadaan bingung, hampir saja ia cemas. Tetapi hanya sesaat, karena setelahnya Yufa malah merasa geli dan ingin marah sekaligus. Bagaimana tidak? Ia tahu sifat kekasihnya yang jarang menghafalkan jalan. 

Jika sedang pergi dengannya, Rie hanya diam dan tak memperhatikan jalan. Bahkan sambil memegang handphone kesayangannya. Memangnya yang menjadi kekasih Rie itu handphone atau Yufa sih?

"Yufa, makasih ya, kamu akhirnya bisa menemukanku di sini. Aku hampir putus asa tadi. Untung saja kamu datang."

"Biasa saja, keles Rie. Ini kan jalan yang biasa kita lewati."

"Oya?" tanya Rie sambil terbengong.

"Kamu sih, jarang memperhatikan jalan. Lihatin hp terus. Memangnya ada apa sih hp kamu itu? Punya pacar baru, ya?" tanya Yufa. Wajah Rie memerah. Ia emosi. Sekejap ia marah. Bagaimana tidak marah, tadi ia tersesat dan tegang. Eh, Yufa menuduhnya yang bukan-bukan. Aku kan banyak teman di media sosial. Harus eksis di sana, kata Rie dalam hati.  

"Ya sudah. Anterin aku pulang. Setelah itu kita putus." kata Rie.

"Loh, kok gitu? Aku kan nggak minta putus. Ya udah, terserah kamu saja. Aku capek pada sikapmu yang manja itu." sahut Yufa. Mereka putus?

***

"Bun, tunggu ya bun. Mainanku ketinggalan di kelas."

"Iya, bunda tunggu. Cepat ya sayang. Bunda tunggu di tempat parkir, ya."

"Siap, bun."

Secepat kilat anak seumuran sekolah play group masuk kembali ke ruang kelasnya. Tak lama kemudian, secepat kilat pula menemui bunda tercintanya di parkiran sepeda motor sekolah.

"Sudah? Pegangan yang kuat ya sayang." kata bundanya.

Ya, Rie sudah pintar mengendarai sepeda motor. Tidak seperti dulu. Saat masih kuliah. Mengandalkan orang lain untuk bisa sampai kemana-mana. Rie banyak belajar dari ia tersesat saat di jalan, karena ia ingin pergi sendiri dan mandiri. Ia tak lagi fokus kepada handphonenya dan keeksisannya di dunia maya. Ia lebih fokus pada dirinya sendiri.

Sejak putus dengan Yufa, ia berpikir keras. Di rumah ia minta belajar pada adik lelakinya untuk naik sepeda motor dan setir mobil. Akhirnya ia bisa. Dan iyes, kemana-mana sekarang ia bisa sendiri. Ia juga mulai belajar menghafalkan jalan. Tak melulu melihat google map. Meski, ia sudah fasih membaca peta.

Hem, kadang-kadang google map malah suka bikin salah jalan, katanya.

Lalu, siapa anak kecil seumuran sekolah play group yang membonceng dirinya tadi. Bukankah ia memanggilnya bunda? Putrinya. Hanum namanya. Putri semata wayang yang diantar jemput sekolah olehnya. 

Meski harus mengambil waktu di sela ia bekerja. Repot memang. Tetapi ia senang. Karena dengan begitu ia selalu bisa mengetahui perkembangan anaknya dari waktu ke waktu.

Sedang ayah Hanum, bekerja di luar kota. Tiap akhir pekan ia pulang. Berkumpul dengan keluarga kecilnya. Hem, keluarga kecil yang bahagia.

***

"Rie, maafkan aku. Aku janji akan memberimu kelonggaran untuk bisa mandiri. Aku tak akan lagi over protektif padamu. Terimalah aku, Rie. Sekuntum mawar merah ini untukmu. Kuberikan kepadamu sebagai tanda rasa bersalahku."

Rie hanya diam membisu. Lalu ia bergumam, "Setelah aku bisa naik sepeda motor, kau datang lagi padaku? Lalu, kemana saja kau selama ini? Sudahlah, mana mawar itu. Biar aku simpan."

"Jadi?"

"Apanya?"

"Kita menikah?"

"Ya, menikah."

Dan, sejak itu, Rie pandai mengendarai motor seperti Valentino Rossi.

***

Semarang, 7 Oktober 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun