Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laut di Musim Ilalang

28 Januari 2018   14:10 Diperbarui: 28 Januari 2018   14:15 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: socwall.com

Aku mengatakannya ini pada laut, saat semua orang tak mau lagi memperhatikanku. Bahkan untuk sekedar memalingkan muka ke arahku, itupun tidak. Mereka mengabaikanku. Dan aku merasa sendiri.

***

Tiba-tiba saja, aku tahu bahwa kamu berbalik arah, lalu sengaja menghindari jalan itu. Saat kamu tahu, bisa saja berpapasan denganku. Oh, aku tahu, kamu sengaja menghindariku, mungkin karena aku telah melukaimu terlalu dalam, hingga kamu tak mampu bertemu denganku. Bahkan untuk memandangkupun tidak. Maafkan aku, memang seharusnya seperti itu. Aku hanya menjalaninya, tak bisa berbuat banyak. Aku hanya sebuah batu berat. Hanya bisa terdiam dan menetap. Tak bisa melompat menujumu. Lalu berbincang denganmu, mengatakan bahwa aku ingin di dekatmu.

Tapi, tahukah kamu, aku juga amat terluka. O, lalu bagaimana? Kalau begitu, baiklah, aku akan pergi. Kau juga akan pergi. Berbalik arah, dan.... Menghilang!

Hari telah berganti, sedangkan kamu tetap dalam pendirianmu. Tak mau melihatku. Bagaimana dengan ini? Bila tak ada kepastian, aku bagai pohon yang terombang-ambing angin. Tak mampu bergerak maju, tapi tak juga kuat menahan hempasan angin untuk bisa terdiam.

Aku ingin mendekatimu. Tapi bagaimana bisa? Untuk mendekatimu saja aku takut. Kau keras bagai batu! Belum lagi mendekat, kau sudah pasang badan untuk membelakangiku. Menghindariku, agar kamu tak bertemu denganku. Oh, aku harus bagaimana lagi? Lalu bila akhirnya, keluar juga dari suaramu, bahwa kamu akan kembali padaku di tahun kedua di musim bunga ilalang, aku memegang janjimu.

***

Tahun ini memasuki musim kedua. Hatiku sangat senang. Aku bisa menemuimu. Aku bergegas menuju tempat yang sama. Di pinggir laut lepas, di dekat rumah. Ada banyak pohon ilalang yang meninggi sedang berbunga putih menjuntai. Banyak sekali, indah tertiup angin. Seperti tahun sebelumnya, aku menunggumu. Sang pujaan hatiku, yaitu kamu. Yang berjanji akan datang menemuiku.

Angin bertiup sepoi, menerbangkan rambut panjangku. Sementara itu, melambai-lambai bunga ilalang di tepi laut, yang menyimpan janji kita di setiap butiran bunganya. Suasana sangat sepi, seakan larut dalam kesyahduan, hanya terdengar suara ombak yang seakan berlomba menuju daratan.

Tiba-tiba di laut, aku bertemu Fera temanku.

"Angin barat datang. Ombak baru besar-besarnya. Kau masih berani mendekati laut?" tanya Fera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun