Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mengalir Bagai Hujan

17 Oktober 2016   13:38 Diperbarui: 17 Oktober 2016   14:03 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: wordpress.com"][/caption]

Entahlah, tapi kehilangan teman berbincang sepertimu merupakan hal yang menyakitkan. Baiklah, karena aku hanya teman minum kopi.

Di pojok cafe ini, biasanya kamu duduk. Selalu di tempat dan jam sama. Lalu kamu tersenyum menyapaku, "Hai, bagaimana kabarmu hari ini?"

"Baik, kamu?"

"Aku juga baik." Lalu setelahnya kita berbincangan seru, hingga saatnya pulang. Kita pulang dalam arah berlawanan.

Tak pernah ada perjanjian khusus, bahwa akan bertemu esok hari. Semua mengalir. Bahkan tak pernah bertukar nomer telepon. Hingga, aku merasa kehilangan, ketika dua kali kamu tak datang. Aku menanyakan pada pramusaji cafe, mereka hanya menggelengkan kepala. 

Apakah kamu sakit? Memang saat pertemuan terakhir, dirimu tampak tak sehat. Tapi kurasa tak berat.

Hari ketiga, kembali tak kulihat dirimu. Aku membatalkan niat memasuki cafe. Aku menuju taman. Aku ingin suasana lain, karena cafe mengingatmu dan membuat perih. Entahlah, apa yang terjadi. Aku bahagia, saat bisa berbincang denganmu dan terasa sakit saat kehilangan teman berbincang sepertimu. 

Aku duduk di kursi taman dekat kolam. Saat tiba, hari masih terang. Begitu mengasyikkan, memandang ikan berenang, saling berurutan seakan berbaris. Ikan berenang sangat konstan, rapi dan berputar seperti arus. Tiba-tiba bunga jatuh di pangkuan, berwarna kuning. Bunga Tabebueya. Kucium. Wangi, meski tak terlalu harum. Aku menengok ke atas, masih banyak bunga bertengger. Semua dalam sepi, tak ada perbincangan. Hanya menatap indahnya ikan dan bunga Tabebueya. 

Matahari meredup, tanda segera tenggelam. Aku beranjak, ketika seseorang menyapaku.

"Jadi, sekarang pindah ke taman? Kenapa tak bilang ?" Aku kaget, hingga membisu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun