Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tak Pernah Terdengar Olehmu

9 Agustus 2016   05:21 Diperbarui: 9 Agustus 2016   15:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menunggumu membutuhkan dua buku dan satu handphone. Jika aku bosan memencet handphone, aku akan beralih ke buku. Begitu pula sebaliknya. Entah mengapa, aku selalu dengan sukarela menunggumu hingga berjam-jam lamanya. Demimu, kadang aku berbuat melebihi nalarku. Selalu begitu.

"Tunggu aku ya, kamu jangan pulang dulu. Sebentar lagi aku akan meluncur ke tempatmu. Please...." katamu. Dan tentu saja aku mau menunggumu.

Bila sudah bertemu denganmu, hatiku luluh, bagai tak terjadi sesuatu. Hanya ada rasa sayang untukmu. Wajahmu itu, yang telah meluruhkan segala gundahku. Itu cukup bagiku.

"Baiklah, kamu memesan apa?" tanyaku ketika kamu telah berada di depanku. Nah, kan, tak pernah ada kata marah untukmu. Selalu, yang ada adalah kata manis. Dan di akhir pertemuan kita, kamu menutup dengan kata, “Aku menyayangimu, Bim!” 

Ya, ya, itu cukup bagiku untuk meyakinkanku, bahwa kamu memang serius padaku.

Sebenarnya aku tak ingin perasaan ini berlarut-larut, dan ingin mengakhirinya saja. Tetapi sejauh ini aku tak pernah mampu melakukannya. Betapa tidak, telah berulang kali aku mencobanya, satu kalipun tak pernah berhasil. Selalu saja, hatiku akan kembali ke kamu.

"Nania, aku ingin bilang sesuatu padamu," kataku padamu. Pada saat itu, kuberanikan diri untuk mengatakan perasaanku. Tetapi apa mau dikata. Bertepatan aku berbicara, dering telponmu berbunyi. Kamu hanya bilang, "Iya Bim, sebentar ya, aku menerima telpon dulu."

Ah, lupakan! Mungkin memang belum saatnya, batinku. Aku kembali terdiam dan berusaha melupakan keinginanku.

***

“Maaf Bim, aku batal ke tempat biasanya. Aku ada acara penting, kasih tahunya aja mendadak, baru beberapa menit yang lalu. Jadi, maafin aku ya, jika tak bisa menemuimu hari ini,”

“Nevermind Nania, urusanmu itu lebih penting. Jangan kawatirkan aku. Aku akan makan siang sendiri, seperti biasanya. Pesanku, kamu jangan lupa makan ya, nanti maagmu kambuh,”

“Okey Bim, makasih ya, kamu memang baik. I love you,”

“I love you too,”

Klik! Ia mematikan handphonenya dari arah sana.

***

Aku sebenarnya bukan seseorang yang tak rasional. Tapi menghadapimu kadang membuatku bagai tak rasional. Tapi kali ini, aku telah berbulat tekad untuk menyatakan yang sejak kemarin kupendam dan tak sempat kuutarakan kepadamu. Seorang Bima harus berani mengutarakannya, batinku.

Aku memacu motorku sedikit kencang untuk segera bisa menemuimu. Sengaja aku tak memberitahukanmu terlebih dahulu, agar ini sebagai kejutan untukmu. Ya, aku telah berbulat tekad untuk bilang padamu, bahwa sebaiknya kita putus saja.

Bukannya aku ingin menyakiti hatimu, tapi aku tak ingin mengganggu segala aktifitasmu, yang merupakan aktifis kampus dan sibuk sekali. Sedang aku, hanyalah mahasiswa biasa-biasa saja. Mungkin kita tak sejalan, karena kita selama ini selalu berbenturan arah. Memiliki arah yang tak sama, itu sangat menyiksaku. Aku tak kuat untuk menambah perih rasa hatiku, meski aku tahu, bahwa kamu mungkin tak merasa menyakitiku.

Semakin dekat ke arah rumah kosmu, aku merasa deg-degan. Aku harus bisa menata hati, agar keputusan bulatku bisa sampai ke telingamu.

Aku melihat sepeda motormu terparkir di garasi motor tempat kos. Itu artinya kamu ada dan tak pergi.

Segera kuparkir motorku, menuju ruang tamu dekat kamar kosmu. Tiba-tiba langkahku terhenti, saat hampir sampai di ruang tamu. Dadaku hampir berhenti.

Deg!

Ternyata di sana, ada kamu dan seseorang, tentu saja cowok lain, sedang tertawa bersendau gurau membicarakan sesuatu. Begitu mesra. Seperti pacaran? Bukankah aku pacarmu? Mengapa bisa begitu?

“Nania,  kamu....” kataku. Kemudian kamu terkejut bukan kepalang. Sejurus dengan itu, kamu berlari ke arahku, ketika aku membalikkan tubuhku untuk menjauh darimu.

“Bima.. ini bukan seperti yang kau kira. Dia hanya temanku. Kamu tahu itu. Hanya kamu pacarku. Biiim...Bimaa.... tunggu...” serumu mengejar langkahku.

Tapi hatiku telah bulat. Bukankah tujuanku semula ingin meminta putus darimu? Dan kali ini, tak perlu memiliki banyak alasan. Meski hati ini terasa teriris, tersayat sembilu. Dan benar apa kata hatiku, kamu mendua!

Desau angin bertiup menyibak rambut pendekku. Wuuusss.....

“Nania, sebaiknya kita putus!”

Tapi suara itu tak pernah terdengar olehmu, karena sejurus dengan aku berkata, angin sedikit kencang tadi menjatuhkan sesuatu, mungkin vas bunga, hingga suaraku tak terdengar.

oh, wajah sendumu terlihat syahdu. Tapi rasa sakitku lebih mendominasi. Aku pergi meninggalkanmu, yang masih termangu, tanpa pernah tahu, apa yang ingin aku utarakan padamu. Selamat tinggal untukmu!

Semarang, 9/8/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun