“Okey Bim, makasih ya, kamu memang baik. I love you,”
“I love you too,”
Klik! Ia mematikan handphonenya dari arah sana.
***
Aku sebenarnya bukan seseorang yang tak rasional. Tapi menghadapimu kadang membuatku bagai tak rasional. Tapi kali ini, aku telah berbulat tekad untuk menyatakan yang sejak kemarin kupendam dan tak sempat kuutarakan kepadamu. Seorang Bima harus berani mengutarakannya, batinku.
Aku memacu motorku sedikit kencang untuk segera bisa menemuimu. Sengaja aku tak memberitahukanmu terlebih dahulu, agar ini sebagai kejutan untukmu. Ya, aku telah berbulat tekad untuk bilang padamu, bahwa sebaiknya kita putus saja.
Bukannya aku ingin menyakiti hatimu, tapi aku tak ingin mengganggu segala aktifitasmu, yang merupakan aktifis kampus dan sibuk sekali. Sedang aku, hanyalah mahasiswa biasa-biasa saja. Mungkin kita tak sejalan, karena kita selama ini selalu berbenturan arah. Memiliki arah yang tak sama, itu sangat menyiksaku. Aku tak kuat untuk menambah perih rasa hatiku, meski aku tahu, bahwa kamu mungkin tak merasa menyakitiku.
Semakin dekat ke arah rumah kosmu, aku merasa deg-degan. Aku harus bisa menata hati, agar keputusan bulatku bisa sampai ke telingamu.
Aku melihat sepeda motormu terparkir di garasi motor tempat kos. Itu artinya kamu ada dan tak pergi.
Segera kuparkir motorku, menuju ruang tamu dekat kamar kosmu. Tiba-tiba langkahku terhenti, saat hampir sampai di ruang tamu. Dadaku hampir berhenti.
Deg!