Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

January 14th, Cinta Sejati tak Pernah Pergi

14 Januari 2016   23:22 Diperbarui: 15 Januari 2016   04:00 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

meniti bumi, sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh raga, 
meniti langit, jiwaku terangkat, terlontar ke awan-awan, 
menari-nari berputar tak searah, 
melesat, 
kencang, 
menuju satu cahaya, 
terang benderang, 
lalu lenyap.. 
tiba-tiba aku merasa hampa, 
sendiri, 
no one inside, 
benar-benar sendiri, 
duduk termangu dicahaya terang benderang.. 
(aku bertanya, apakah ini?)

Aku tampak melawati awan, terbang jauh. Tak menyangka, aku bisa bergerak secepat ini. Keinginanku menjelajah dunia terpenuhi! Tubuhku tiba-tiba menjadi ringan dan mampu terbang. Meskipun aku merasa, ini adalah sebuah mimpi. Ya, ini hanyalah sebuah mimpi, aku yakin itu! Aku mencubit kulit lengatku sendiri. “Auuw..” ternyata sakit. Apakah ini bukan mimpi? Apakah ini nyata? Entahlah. Karena aku bisa melihat diriku sendiri, sedang berbaring di sebuah ruangan ini.

***

Heem... waktu itu..

Aku, seorang gadis lembut dengan pipi setengah tembem. Rambut sebatas bahu dan tak pernah lebih dari sebahu. Berseragam abu-abu. Memakai motor, parkir di pelataran SMA. Setiap akan memasuki kelas yang berjarak seratus meter dari tempat parkir, aku selalu deg-degan karena harus melewati sebuah koridor yang berjajar kelas-kelas. “Itu kelas kamu..” batinku. Kelas IPA1. “Kamu pasti sudah menungguku di sana, di jendela yang besar, terbuat dari kayu kokoh dan berkaca.” Bangunan peningggalan jaman dulu memang begitu. Berjendela besar dan terlihat kokoh.

“Benar! Kamu telah menungguku.” seruku dalam hati.

“Lintang, nanti siang kita pulang bareng ya, sekalian aku mau pinjem catatanmu. Boleh?” katamu. Berbinar mata itu, melelehkan hatiku.

Aku mengangguk. Lalu segera beringsut setengah berlari menuju kelas sambil malu-malu. Pipiku kemerahan. Tentu saja, merah itu karenamu. Jenar, itu namamu.  Entah berapa kali kau menungguku di depan jendela. Puluhan mungkin, hingga suatu hari, kau bilang suka padaku. Begitupun aku, yang juga suka padamu. Aku mengangguk mau, untuk menjadi kekasihmu. Semudah itu? Tentu saja, karena kamu keren dan idola. Sedang aku, gadis cupu dan pemalu.

Tiba-tiba namaku tenar, karena telah menjadi kekasihmu. Hampir setiap berjalan denganmu, teman-teman melirikku. Sebenarnya aku agak jengah, tapi lama-lama terbiasa. Bahkan, ketika pipi tembemku berubah menjadi tirus, berkat diet ketat untuk menjaga penampilanku agar match denganmu. Lengkaplah sukamu padaku.

Kemudian...

Awalnya, memang dirimu banyak alasan agar tak selalu menemuiku dan menemaniku. Tapi akhirnya aku mengerti, bahwa dirimu memang menghindar dariku. Kita putus, dengan meninggalkan segala luka yang tertoreh merah. Aku patah hati, oleh cinta pertamaku. Sekaligus pelajaran pertamaku tentang patah hati. Oleh Jenar, cowok tenar di sekolahku.

Tak berselang lama, datang Wildan, memberiku harapan, menembakku tanpa pernah kuduga. Ia terpikat oleh kepandaianku merangkai kata dan aku mengaguminya karena kepiawaiannya menggoreskan kuas di atas kanvas.

Banyak orang heran, mengapa aku bisa terpikat padanya, sedang aku mulai terkenal sebagai penulis. Lalu, apakah salah, jika ia pun ternyata tak pernah menuntutku berlebih dan mampu membuatku bahagia?

***

Lintang Araning Sekar Langit, nama itu mengisi banyak toko buku di berbagai kota. Itu namaku dan akulah yang mengisi setiap buku yang bertuliskan nama itu. Tapi aku tak pernah mau muncul dan hanya berada di balik layar. Aku sengaja membuat sebuah misteri, agar para penggemarku semakin penasaran denganku. Dan berhasil. Buku yang aku tulis, laris manis dan selalu mengalami cetak ulang. Beberapa kali. Tentu saja semakin menambah pundi-pundi di kantong menebal.

Lalu, seiring dengan itu, Wildan pun semakin tenar dengan hasil lukisannya. Berbeda denganku, Wildan banyak menemui klien, yang menggemari lukisannya. Kadang hingga ke luar kota. Tentu saja, juga semakin menambah pundi-pundi kantongnya.

Setelah melalui pertimbangan panjang dan berliku, kami menikah.

Ada suatu masa, di mana kisah tak perlu diceritakan. Atau mengendap hanya pada satu kisah yang membisu. Suatu masa itu berlangsung, hingga kisah menjadi suatu cerita menarik untuk diungkapkan dan menjadi sejarah. Telah banyak kisah yang aku lalui bersama Wildan. Tak banyak kisah indah, tapi itu cukup membuatku bahagia. Bisa di katakan menjadi sempurna, ketika lahir Masayu, gadis cantik lucu dan pintar. Lengkaplah kisah itu.

Semakin hari Wildan menjadi sangat sibuk, begitu pula aku. Ada yang terlupa, bahwa aku dan dia adalah sepasang kekasih. Memang aku merasakan kerinduan untuk bisa bersama seperti hari sebelumnya. Tapi tuntutan pekerjaan membuatku dan Wildan semakin ada jarak. Wildan tak pernah menuntut apapun dariku, seperti dulu dan seperti biasanya ia. Tapi aku mengerti, bahwa Wildan membutuhkan lebih dari itu. Aku yang lalai.

Tiba-tiba aku menjadi asing, ketika kulihat rambutnya kian memutih. Oh, kemana saja aku selama ini? Ia pun merasa asing, saat melihat kerutan lembut di sudut mataku. Ia sepertinya tak percaya, bahwa aku adalah Lintang yang ia kasihi dulu.

***

“Lintang, “

“Ya Wildan.”

“Apakah aku dulu pernah merasakan, sebuah rasa yang bahagia dan nyaman berada di sisimu. Kaukah itu belahan jiwaku Lintang? Kemana saja kita selama ini?” sapanya lembut, saat berada di teras belakang rumah. Taman indah dengan kolam ikan yang berenang beriringan tak pernah berhenti.

“Entahlah, selama ini kita terbuai oleh keasyikan kita sendiri,” mulutku tercekat, merasa berdosa atas lalaiku selama ini. Wildan pria yang setia. Tak pernah ingkar janji. Aku bangga padanya.

Lalu aku?

Tak perlu diceritakan, karena, toh, ada suatu masa, suatu peristiwa yang tak perlu diceritakan.

Januari 14th,

Namun ketakutan mencekam diriku,
bila teringat bayang-bayang mata bercahaya penuh cinta,
terlebih ia mabuk kepayang,
telah membisik darimu: "Betapa aku sangat mencintaimu,
maafkan aku karena egoku."

***

Rahasia,  ini benar-benar rahasia. Jenar tak pernah sungguh pergi dariku. Ia selalu menjadi bayanganku, meski tak pernah nampak olehku. Aku bisa membaca perasaanku sendiri, karena aku sungguh tak bisa menghapus rasa bersalahku. Rasa bersalah itu berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. Selanjutnya aku tenang sekali.

cintamu, begitu deras, 
untuk itu akan kubuatkan ruang khusus bagi cintamu, 
di setiap sudut-sudut urat nadiku, 
agar kelak menjadi cerita, bahwa ada cinta sejati antara aku dan kau

Jika saja tak ada waktu yang mampu menjelaskan, maka aku telah mencatatnya dalam sebuah buku besar yang aku simpan di lemari. Kelak Wildan bisa membuka dan membacanya.

Sejatinya, cinta itu untuk Wildan, meski sedikit tertoreh ruang untuk Jenar.

 

Semarang, 14 Januari 2016.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun