“Ya Wildan.”
“Apakah aku dulu pernah merasakan, sebuah rasa yang bahagia dan nyaman berada di sisimu. Kaukah itu belahan jiwaku Lintang? Kemana saja kita selama ini?” sapanya lembut, saat berada di teras belakang rumah. Taman indah dengan kolam ikan yang berenang beriringan tak pernah berhenti.
“Entahlah, selama ini kita terbuai oleh keasyikan kita sendiri,” mulutku tercekat, merasa berdosa atas lalaiku selama ini. Wildan pria yang setia. Tak pernah ingkar janji. Aku bangga padanya.
Lalu aku?
Tak perlu diceritakan, karena, toh, ada suatu masa, suatu peristiwa yang tak perlu diceritakan.
Januari 14th,
Namun ketakutan mencekam diriku,
bila teringat bayang-bayang mata bercahaya penuh cinta,
terlebih ia mabuk kepayang,
telah membisik darimu: "Betapa aku sangat mencintaimu,
maafkan aku karena egoku."
***
Rahasia, ini benar-benar rahasia. Jenar tak pernah sungguh pergi dariku. Ia selalu menjadi bayanganku, meski tak pernah nampak olehku. Aku bisa membaca perasaanku sendiri, karena aku sungguh tak bisa menghapus rasa bersalahku. Rasa bersalah itu berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. Selanjutnya aku tenang sekali.
cintamu, begitu deras,
untuk itu akan kubuatkan ruang khusus bagi cintamu,
di setiap sudut-sudut urat nadiku,
agar kelak menjadi cerita, bahwa ada cinta sejati antara aku dan kau
Jika saja tak ada waktu yang mampu menjelaskan, maka aku telah mencatatnya dalam sebuah buku besar yang aku simpan di lemari. Kelak Wildan bisa membuka dan membacanya.