**
Dua Kamar:
Masing-masing tertutup rapat, tapi hampir bisa ditebak, di dalamnya, ada sebuah kecemasan dan tak bisa tidur, meski tempat itu nyaman. Dengan susah payah, mata berusaha memejam. Tak bisa, ini bisa gila jadinya.
Mulai di goreskan pena pada kertas itu.
Aku benar-benar tak pandai merayu, buktinya kau tak bergeming, hanya diam seribu bahasa, saat aku mencoba merayumu. Harus memakai cara apa agar aku mampu meraih hatimu? Ah, sudahlah, aku pun akan diam saja, mungkin kau sedang tak ingin diganggu.
Lalu saat aku diam, bahkan kau pura-pura menanyakan sesuatu. Itu pertanda apa? Benar-benar membingungkan.
Apakah iya atau tidak?
Bila iya, bukankah aku akan melangkah maju, tanda telah memberi sinyal, ada angin segar darimu.
Bila tidak, aku akan tetap berusaha untuk meraih hatimu, mengambil hatimu meski kau pura-pura tak tahu.
Aku tahu, dalam hatimu, kau juga memujaku, seperti juga hatiku memujamu.
"Sayaaang, pesanmu sudah kubaca di meja rias, lain kali jangan terlalu membatasiku, juga jangan menghalangiku untuk cantik yaa,"
PING!!!
Pesan sampai.
**
Lalu kedua pintu kamar membuka, sebentuk lengkungan senyum terbit. Seperti bulan sabit saja.
"Lain kali, bila ingin marah, bilang-bilang ya, dan jangan terlalu lama, nanti cantikmu hilang."
"Iya, lain kali kalau melarang sesuatu, bilang-bilang ya, biar aku tahu, apakah aku suka atau tidak."
"Jadi?"
"Apa?"
"Kita baikan?"
"Ya iyalah,"
**
Bulan sabit seperti senyuman di luar malam itu, dalam temaram agak gelap, romansa bertabur bintang yang menyala, menentramkan dua hati.
"Kamu, hampir saja mematahkan hatiku."
"Tentu tak mungkin, karena separuh hatimu itu aku."
“_____, ”
**
(13/05/15)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI