Mohon tunggu...
Wahyu PerdanaKusuma
Wahyu PerdanaKusuma Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Fashion dan Gaya Hidup Masyarakat Indonesia

15 Januari 2022   06:40 Diperbarui: 15 Januari 2022   06:46 2718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fashion berasal dari bahasa latin yaitu factio yang berarti melakukan atau melakukan. Oleh karena itu, arti asli dari kata fashion adalah kegiatan; fashion adalah sesuatu yang dilakukan seseorang, tidak seperti saat ini, fashion didefinisikan sebagai sesuatu yang dipakai seseorang. 

Arti asli dari fashion juga mengacu pada ide objek pemujaan atau fetish. Kata tersebut menunjukkan bahwa fashion dan clothing item merupakan item yang paling dipuja, diproduksi dan dikonsumsi dalam masyarakat kapitalis. 

Polhemus dan Procter (dalam Barnard, 2006) mengemukakan bahwa dalam masyarakat Barat Kontemporer, istilah fashion sering digunakan sebagai sinonim untuk istilah makeup, style, dan clothing.

Gaya hidup (lifestyle) secara sosiologis (dengan pemahaman terbatas) mengacu pada gaya hidup khas kelompok tertentu (Featherstone, 2001). Sementara itu, dalam masyarakat modern, gaya hidup membantu menentukan sikap, nilai, kekayaan, dan posisi sosial seseorang (Chaney, 2004). 

Dalam masyarakat modern, istilah ini membangkitkan individualisme, ekspresi diri, dan persepsi diri tentang gaya. Tubuh, pakaian, ucapan, preferensi, pilihan makanan dan minuman, rumah, sarana transportasi, bahkan pilihan sumber informasi, dan lain -- lain dianggap sebagai indikator selera individu serta gaya seseorang.

Fenomena gaya hidup masyarakat Indonesia (Ibrahim, 2007) pertama -- tama dijelaskan oleh fakta bahwa masyarakat konsumen Indonesia telah berkembang seiring dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi konsumerisme kapitalis ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan seperti pusat perbelanjaan seperti mall, industri hiburan, industri fashion, industri kecantikan, dapur industri, industri konsultan, industri gosip, kawasan perumahan mewah, real estate, iklan produk mewah tanpa henti, perjalanan ke luar negeri, pengaturan sekolah yang mahal, ketergantungan pada merek asing, makanan cepat saji ( makanan cepat saji), ponsel (HP) dan jangan lewatkan invasi gaya hidup melalui iklan dan penyiaran

Kedua, globalisasi industri media luar negeri dengan modal besar yang masuk ke tanah air sekitar tahun 1900-an, terutama dalam bentuk serbuan majalah mode dan gaya hidup dalam edisi khusus bahasa Indonesia yang jelas menawarkan gaya hidup yang mustahil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk mencapai. 

Majalah -- majalah ini tentu saja ditujukan untuk pria dan wanita kelas menengah (dengan selera). Dari kemasan dan bagian atau part yang disajikan, terlihat jelas menyampaikan nilai, selera, gaya dan ideologi yang tercermin dalam tagline-nya, yaitu memberikan fantasi hidup sebagai 'Smarter, Richer & Sexier' atau "Have fun", dan sebagainya.

Begitu pula dengan pertumbuhan industri penerbitan khususnya anak-anak dan remaja menjadi ladang persemaian gaya hidup. Melalui majalah remaja, baik laki -- laki maupun perempuan, yang khusus ditujukan bagi remaja yang ingin mendapatkan kembali jati diri dan citra diri, kini banyak beredar majalah dalam kemasan yang semewah media dewasa. 

Buku remaja ini menawarkan berbagai gaya hidup berselera tinggi yang berkisar pada tren fashion, isu gaul, kencan, belanja, acara hiburan, yang perlahan tapi pasti membentuk budaya anak muda menuju gaya hidup yang menyenangkan.

Ketiga, pada sebagian orang juga terdapat cara hidup yang berbeda, gerakan yang seolah --olah "kembali ke alam", dengan hal-hal sederhana, semacam nostalgia akan tanah air atau surga yang hilang; dan juga munculnya gaya hidup spiritualis baru, yang kesemuanya seolah-olah merupakan antitesis dari glamor fashion. 

Orang Indonesia tidak lagi malu-malu, apalagi takut kaya (dan tentunya juga religius). Siapa yang tidak senang menjadi kaya dan saleh pada saat bersamaan? 

Lagi pula, mengapa repot -- repot dengan kekayaan jika Anda harus hidup sederhana, Anda tidak bisa merasakan nikmatnya kekayaan. Mungkin begitu logikanya. 

Tampaknya ada hasrat tersembunyi untuk kekayaan, dan kekayaan sebagai simbol prestise, dan prestasi yang kaya juga harus dirayakan, dan diarak di ruang publik.

Contoh di atas menunjukkan bahwa ketika kriteria keberhasilan diperkuat ke arah gengsi material, semangat spiritualisme baru ternyata mengambil tempat yang lebih canggih dalam budaya konsumen. 

Misalnya, bagi umat Islam, industri periklanan dan jasa mulai berkembang, menawarkan "wisata religi", pendirian kafe khusus Muslim, pendirian sekolah Islam yang mahal, menjamurnya kios -- kios yang berlabel Busana Islami eksklusif, tren Fashion Show Muslim dan penciptaan fashion, mall, pusat perbelanjaan menggunakan kepekaan agama untuk keuntungan komersial.

Sementara itu, menjamurnya majalah -- majalah Islam untuk anak muda (khususnya muslimah) tidak jauh berbeda dengan majalah --majalah mainstream lainnya. Hal -- hal yang ditawarkan adalah fashion, shopping, slang, sex, flirting yang dianggap "islami" yang perlu dikelola. 

Tagline yang ia kemukakan seperti fantasi anak muda kelas menengah pada umumnya, menjadi Muslim yang cerdas dan gaul, atau menjadi Muslim yang bersemangat dan trendi. Di sini ditanamkan ideologi yang samar-samar dipahami, religius namun modis atau religius namun modis.

Apakah fenomena ini merupakan kebangkitan keagamaan atau penggunaan sensibilitas keagamaan yang telah menjadi komoditas selama masa konsumsi massal. 

Ketika kerudung, jilbab, gamis, baju koko (dengan berbagai desain, pola, tekstur, warna) semakin menjadi salah satu icon gaya hidup mode, dan mulai menjadi semakin populer. oleh para artis di dunia entertainment saat ini. 

Bahkan di beberapa kalangan, dapat dilihat apakah ada upaya sadar atau tidak sadar untuk melabeli "Islamisasi" dalam perilaku konsumen di dunia fashion dan belanja. Sementara mungkin yang sebenarnya terjadi adalah kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, bisnis, atau kapitalisme itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun