Orang Indonesia tidak lagi malu-malu, apalagi takut kaya (dan tentunya juga religius). Siapa yang tidak senang menjadi kaya dan saleh pada saat bersamaan?Â
Lagi pula, mengapa repot -- repot dengan kekayaan jika Anda harus hidup sederhana, Anda tidak bisa merasakan nikmatnya kekayaan. Mungkin begitu logikanya.Â
Tampaknya ada hasrat tersembunyi untuk kekayaan, dan kekayaan sebagai simbol prestise, dan prestasi yang kaya juga harus dirayakan, dan diarak di ruang publik.
Contoh di atas menunjukkan bahwa ketika kriteria keberhasilan diperkuat ke arah gengsi material, semangat spiritualisme baru ternyata mengambil tempat yang lebih canggih dalam budaya konsumen.Â
Misalnya, bagi umat Islam, industri periklanan dan jasa mulai berkembang, menawarkan "wisata religi", pendirian kafe khusus Muslim, pendirian sekolah Islam yang mahal, menjamurnya kios -- kios yang berlabel Busana Islami eksklusif, tren Fashion Show Muslim dan penciptaan fashion, mall, pusat perbelanjaan menggunakan kepekaan agama untuk keuntungan komersial.
Sementara itu, menjamurnya majalah -- majalah Islam untuk anak muda (khususnya muslimah) tidak jauh berbeda dengan majalah --majalah mainstream lainnya. Hal -- hal yang ditawarkan adalah fashion, shopping, slang, sex, flirting yang dianggap "islami" yang perlu dikelola.Â
Tagline yang ia kemukakan seperti fantasi anak muda kelas menengah pada umumnya, menjadi Muslim yang cerdas dan gaul, atau menjadi Muslim yang bersemangat dan trendi. Di sini ditanamkan ideologi yang samar-samar dipahami, religius namun modis atau religius namun modis.
Apakah fenomena ini merupakan kebangkitan keagamaan atau penggunaan sensibilitas keagamaan yang telah menjadi komoditas selama masa konsumsi massal.Â
Ketika kerudung, jilbab, gamis, baju koko (dengan berbagai desain, pola, tekstur, warna) semakin menjadi salah satu icon gaya hidup mode, dan mulai menjadi semakin populer. oleh para artis di dunia entertainment saat ini.Â
Bahkan di beberapa kalangan, dapat dilihat apakah ada upaya sadar atau tidak sadar untuk melabeli "Islamisasi" dalam perilaku konsumen di dunia fashion dan belanja. Sementara mungkin yang sebenarnya terjadi adalah kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, bisnis, atau kapitalisme itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H