Kita sama-sama tahu bagaimana reaksi rakyat Indonesia termasuk netizen terhadap kekalahan timnas. 'Anggapan boleh kalah kecuali dari Malaysia' makin menggelorakan kritikan terhadap timnas.
Mungkin agak keliru bila sasaran dari kritikan tersebut adalah skuad muda berusia sekitar 16, 15, dan 14 tahun. Mereka adalah anak-anak remaja yang masih terus di jaga mentalnya agar tidak mudah jatuh dan menyerah dari sebuah kegagalan. Satu dua kali kesalahan adalah suatu kewajaran bagi mereka, asalkan terus diarahkan untuk melakukan perbaikan.
Jadi adalah wajar jika telunjuk para netizen diarahkan pada orang-orang dewasa di sekeliling mereka. Sejak kekalahan tersebut tim pelatih hingga pengurus PSSI menjadi bulan-bulanan netizen.
Ternyata salah satu pemicunya adalah sejak event sebelumnya yang pernah diikuti oleh Timnas Indonesia. Tim tersebut berhasil menjuarai Piala AFF U-16. Namun hal yang disayangkan, orang-orang dewasa di sekitar para remaja tersebut menunjukkan sikap mental yang tidak tepat.
Mereka yang seharusnya menjaga mental anak-anak agar tetap terjaga dan membumi, justru mencontohkan sikap yang jauh dari kata sportivitas. Skuad muda timnas terlalu dielu-elukan bak pahlawan.
Mereka diundang ke berbagai acara dan penghargaan. Dari sini mereka merasa sudah menjadi bintang yang selalu diperhatikan para penggemar. Istilahnya 'star syndrome'. Mereka dengan star syndrome cenderung merasa selalu menjadi sorotan publik.
Bahkan, bisa dibilang mereka menginginkan dan menyukai sorotan tersebut. Inilah yang bisa mengganggu perkembangan mental anak-anak seusia remaja.
Ini yang menyebabkan ia selalu ingin tampil paling hebat. Seakan-akan inilah puncak prestasi mereka di dunia sepak bola. Padahal ini barulah awal dari karier mereka yang panjang. Ini hanyalah salah satu pijakan untuk meraih kesuksesan.
Euforia atas sebuah kemenangan adalah hal wajar. Tapi perayaan juara tetap tidak boleh berlebihan apalagi menjelekkan pihak lain. Terlebih terjadi pada anak-anak usia remaja seperti mereka, mental yang baik harus terbentuk dan terus dijaga.
Di sinilah dibutuhkan peran aktif orang-orang dewasa di sekitar mereka. Mulai dari orang tua, pelatih, hingga para petinggi organisasi olahraga yang menaungi mereka. Hari Mental sedunia ini bisa menjadi alarm pengingat bagi kita agar tetap membumi dan tidak gegabah.
Barangkali kita perlu berkaca pada kiblat sepak bola Eropa, Amerika, dan juga Asia (Jepang dan Korea). Secara teknis para pesepakbola junior Indonesia tidak kalah dari mereka. Hanya saja penanganan fisik dan mental mereka tetap terjaga hingga dewasa. Sehingga mereka tetap sukses hingga level senior.