Oleh: Wahyu AlimÂ
"Kesehatan mental bukanlah tujuan, tetapi sebuah proses. Ini tentang bagaimana Anda mengemudi, bukan ke mana Anda pergi." -- Noam Spencer, PhD
10 Oktober, tanggal yang tiap tahunnya diperingati sebagai hari mental sedunia. Tepat sehari sebelumnya muncul peristiwa menarik dalam sebuah pertandingan sepak bola di Indonesia.
Dalam pertandingan kualifikasi Piala Asia tersebut, Timnas Indonesia U-17 bisa sampai kalah 1-5 di hadapan Malaysia U-17 di Stadion Pakansari, Minggu (9/10/2022).Â
Sebuah hasil di luar dugaan kita semua, karena Indonesia sangat diunggulkan. Sebagai pemuncak klasemen, tugas Indonesia lebih ringan karena hanya membutuhkan hasil imbang untuk lolos ke Piala Asia U-17 2023. Sedangkan Malaysia terbebani untuk wajib menang agar bisa lolos. Secara mental, Indonesia berada di atas angin.
Penulis tidak ingin mengomentari kekalahan Indonesia dari perspektif teknis. Biarlah itu menjadi bahan evaluasi internal timnas hingga para pengurus PSSI.
Mereka mengalami kekalahan yang sangat menyakitkan. Mengapa demikian? Ya, banyak faktor yang menyebabkan kekalahan ini terasa sakit meski tak berdarah. Sebab yang pertama, mereka bermain di negara sendiri. Meskipun bertanding tanpa penonton, bermain di kandang merupakan suatu keuntungan tersendiri di bandingkan lawan-lawannya yang harus melalui perjalanan jauh dari negaranya masing-masing.
Ada energi lebih yang tersimpan tanpa melakukan perjalanan ke luar negeri. Suasana tempat berlatih dan bertanding pun sudah bersahabat. Di samping itu, kekuatan mental berupa kepercayaan diri yang tinggi seharusnya sudah terbentuk dengan bermain di negeri sendiri.
Pada beberapa pertandingan sebelumnya Timnas Indonesia U-17 juga meraih kemenangan apik dari lawan-lawannya, termasuk mengalahkan Guam dengan skor telak 14-0. Jadi jelas dari berbagai aspek Indonesia sangat diunggulkan untuk mengalahkan Malaysia.
Tapi fakta di lapangan terkadang tidak sesuai dengan data-data di atas kertas. Timnas Indonesia U-17 harus bertekuk lutut dari Malaysia. Malaysia lolos ke Piala Asia U-17 tahun depan. Sedangkan langkah Indonesia harus terhenti sampai di sini. Skuad timnas luluh secara mental.
Seperti diutarakan di awal, kekalahan tersebut hampir berbarengan dengan Hari Mental sedunia. Jadi, ada dua momen yang saling berkaitan di sini. Di satu sisi Timnas Indonesia U-17 yang beranggotakan anak-anak remaja baru saja mengalami kekalahan yang cukup memalukan. Istilahnya kena mental.
Kita sama-sama tahu bagaimana reaksi rakyat Indonesia termasuk netizen terhadap kekalahan timnas. 'Anggapan boleh kalah kecuali dari Malaysia' makin menggelorakan kritikan terhadap timnas.
Mungkin agak keliru bila sasaran dari kritikan tersebut adalah skuad muda berusia sekitar 16, 15, dan 14 tahun. Mereka adalah anak-anak remaja yang masih terus di jaga mentalnya agar tidak mudah jatuh dan menyerah dari sebuah kegagalan. Satu dua kali kesalahan adalah suatu kewajaran bagi mereka, asalkan terus diarahkan untuk melakukan perbaikan.
Jadi adalah wajar jika telunjuk para netizen diarahkan pada orang-orang dewasa di sekeliling mereka. Sejak kekalahan tersebut tim pelatih hingga pengurus PSSI menjadi bulan-bulanan netizen.
Ternyata salah satu pemicunya adalah sejak event sebelumnya yang pernah diikuti oleh Timnas Indonesia. Tim tersebut berhasil menjuarai Piala AFF U-16. Namun hal yang disayangkan, orang-orang dewasa di sekitar para remaja tersebut menunjukkan sikap mental yang tidak tepat.
Mereka yang seharusnya menjaga mental anak-anak agar tetap terjaga dan membumi, justru mencontohkan sikap yang jauh dari kata sportivitas. Skuad muda timnas terlalu dielu-elukan bak pahlawan.
Mereka diundang ke berbagai acara dan penghargaan. Dari sini mereka merasa sudah menjadi bintang yang selalu diperhatikan para penggemar. Istilahnya 'star syndrome'. Mereka dengan star syndrome cenderung merasa selalu menjadi sorotan publik.
Bahkan, bisa dibilang mereka menginginkan dan menyukai sorotan tersebut. Inilah yang bisa mengganggu perkembangan mental anak-anak seusia remaja.
Ini yang menyebabkan ia selalu ingin tampil paling hebat. Seakan-akan inilah puncak prestasi mereka di dunia sepak bola. Padahal ini barulah awal dari karier mereka yang panjang. Ini hanyalah salah satu pijakan untuk meraih kesuksesan.
Euforia atas sebuah kemenangan adalah hal wajar. Tapi perayaan juara tetap tidak boleh berlebihan apalagi menjelekkan pihak lain. Terlebih terjadi pada anak-anak usia remaja seperti mereka, mental yang baik harus terbentuk dan terus dijaga.
Di sinilah dibutuhkan peran aktif orang-orang dewasa di sekitar mereka. Mulai dari orang tua, pelatih, hingga para petinggi organisasi olahraga yang menaungi mereka. Hari Mental sedunia ini bisa menjadi alarm pengingat bagi kita agar tetap membumi dan tidak gegabah.
Barangkali kita perlu berkaca pada kiblat sepak bola Eropa, Amerika, dan juga Asia (Jepang dan Korea). Secara teknis para pesepakbola junior Indonesia tidak kalah dari mereka. Hanya saja penanganan fisik dan mental mereka tetap terjaga hingga dewasa. Sehingga mereka tetap sukses hingga level senior.
Nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa dipungkiri Garuda Muda terjerembab. Â Kalah secara teknis dan juga mental. Adalah tugas orang-orang dewasa di sekeliling mereka untuk kembali membangkitkan mental mereka.
Jangan sampai bakat-bakat hebat pesepakbola kita terpendam oleh buruknya pengelolaan mental di usia dini. Jadikanlah kritikan sebagai pembangun mental dan semangat untuk meraih suatu kemajuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H