"Tidak ada satu pun yang pedulikan mereka karena mereka aib bagi keluarga. Tetapi di saat semua mata berpaling dan setiap jiwa abaikan mereka. Justru mereka berdua membuktikan bahwa cinta itu ibarat gandum. Tumbuh dari bumi, berbunga, berbuah dan pada akhirnya akan layu dan mati dan kembali ke bumi."
Tulisan ini adalah satu ulasan sederhana tentang sebuah film. Film dari negeri Cina bergenre drama yang dikemas begitu indah oleh sutradara. Bagi penulis - yang tidak terlalu suka genre drama - film ini ibarat rangkaian bait-bait puisi yang seketika dapat mencairkan bekuan naluri manusiawi, seperti egoisme, keserakahan, lupa diri, kemalasan, enggan berkorban, dan berbagai sifat kerendahan jiwa lainnya.
Bagi sobat pembaca yang suka dengan film drama mungkin film ini layak dimasukkan ke daftar tontonan untuk menemani waktu luang anda. Judul filmnya adalah Return To Dust, karya sutradara Li Ruijun. Film ini rilis tahun 2022, artinya masih cukup segar untuk ditonton.
Keunikan film ini bukan hanya dari setting tempat dan waktu yang ril (tanpa teknologi visual), tetapi juga pemain film ini merupakan kolaborasi antara artis profesional (tokoh wanita - Cao Guiying) dan aktor amatir (tokoh pria - Ma Youtie). Dan sebagai informasi, aktor amatir tersebut merupakan warga lokal yang tidak lain adalah paman dari sang sutradara.
Bagi sobat yang belum menonton film ini, tulisan ini bukan bermaksud spoiler. Sebagaimana yang penulis sebutkan di awal, sangat banyak momen dan dialog yang memesona dalam film ini. Momen dan dialog tersebut bagaikan rimbunan puisi cinta yang tumbuh subur dari bumi realitas dunia yang begitu kering dan mati rasa.
Penulis hanya mencoba memetik beberapa ranting hidup dari film ini, yang penulis anggap sangat layak untuk ditanam kembali di hamparan jiwa. Siapa tahu, ranting tersebut tumbuh beberapa dan semoga dapat menjadi cermin tamsilan hidup bagi penulis atau pembaca, meskipun sesungguhnya semua itu hanya fiksi belaka.
Kisah ini berawal dari dua keluarga di satu desa yang mayoritas warganya adalah kelompok usia dewasa berprofesi petani. Ma Youtie si anak bungsu dari empat saudara dijodohkan oleh kakaknya dengan seorang perempuan bernama Cao Guiying, yang juga dibawa oleh kakak kandung dan iparnya.
Perjodohan ini berlangsung tidak biasa. Ma Youtie dan Cao Guiying tidak saling mengenal meski tinggal di desa yang sama. Latar belakang kehidupan kedua nya yang membuat demikian.
Ma Youtie adalah laki-laki paruh baya yang polos tapi pekerja keras. Kerutan di wajahnya menandakan sebagian besar umurnya dihabiskan untuk bertani guna menghidupi kakak-kakaknya.
Dia terasing dari kehidupan sosial dan hanya berteman dengan seekor keledai. Yang mengagumkan dari Ma adalah rasa cinta dan hormat kepada kakak-kakaknya, meskipun semua warga desa tahu bahwa sebenarnya dia dieksploitasi oleh saudaranya sendiri.
Sedangkan Cao Guiying adalah perempuan paruh baya yang miskin. Badannya agak bungkuk dan condong ke kiri. Mimik wajahnya hampa dengan rambut kusut yang tidak terurus.
Tangannya sebelah kiri selalu bergetar dan kaki kirinya tidak kokok menopang tubuhnya, sehingga kalau berjalan layaknya (maaf) stroke. Pakaiannya ala kadarnya dan dia punya satu penyakit yang membuat keluarganya dan mungkin semua warga desa jengkel padanya, yaitu dia tidak mampu menahan pipisnya layaknya anak balita.
Belakangan diketahui, penyakitnya tersebut karena dia telah dianiaya oleh kakak kandung dan iparnya sendiri sejak kecil.
Inti dari perjodohan ini adalah satu saja. Kedua keluarga masing-masing ingin menyingkirkan mereka berdua dari keluarga. Karena mereka adalah aib. Hanya membuat malu dan menjadi beban bagi keluarga.
Dan hal yang membuat hati dongkol adalah kakak Cao Guiying memberikan sejumlah uang kepada kakak Ma Youtie dengan maksud sedikit memohon agar perjodohan itu segera terjadi.
Dan akhirnya kedua manusia "korban" kebengisan keluarga tersebut menikah. Jangan dibayangkan mereka menikah dengan resepsi dan mengundang warga, tidak sama sekali. Karena tidak ada siapa pun yang peduli pada mereka berdua.Â
Oh ya, sebagai simbol pernikahan, Ma membawa istrinya ke studio foto untuk mengambil gambar di akta pernikahan. Pada saat pengambilan gambar, Ma menghadap ke kiri sedangkan Cao menoleh agak ke kanan, tidak ada senyum, tidak ada baju pengantin berwarna merah, hanya ada Ma dan Cao yang berpakaian sederhana. Keduanya berpose layaknya sepasang anak muda yang pemalu, meski umur mereka berdua sudah sama-sama tua.
Berikut beberapa ranting hidup tersebut:
1. Malam Pertama Pernikahan
Mereka berdua berada di bawah atap satu rumah super sederhana, peninggalan orang tua Ma Youtie. Tidak ada sebaris katapun yang terucap dari bibir mereka. Pembawaan Ma yang dingin berpadu dengan Cao yang bersikap layaknya anak pendiam.
Saat itu, Ma ingin mengambil sesuatu ke dapur. Sedangkan Cao, sedari tadi duduk mematung di atas tempat tidur. Tempat tidur dari tanah liat kering dialasi kain dan berpenopang kayu, dengan ukuran sekira untuk dua orang anak-anak.
Cao tiba-tiba dia mengusap-usap tempat duduknya yang terasa basah. Cao pipis dan dia tidak bergeming.
Ma datang dari dapur. Dia langsung berbaring di dekat Cao. Lalu Ma menyadari kalau Cao pipis di tempat tidur, tetapi bukannya bertanya atau protes, Ma justru mengambil selimut dan melanjutkan tidurnya seolah tidak ada apa-apa.
2. Musim Dingin, saatnya menanam rasa cinta antara kita.
Pada musim dingin, momen yang paling romantis adalah saat Cao Guiying yang menanti kedatangan suaminya Ma Youtie dari kota. Ma pergi ke kota untuk membeli perlengkapan pernikahan keponakannya. Dia berangkat subuh dan baru pulang larut malam.
Di bawah guyuran butiran salju, Cao menantikan suaminya di dekat jembatan yang menghubungkan desa dan kota sambil memegang sebuah senter. Senter tersebut diarahkan ke ujung jalan layaknya lampu mercusuar yang mengawasi pantai.
Ketika dia melihat Ma terlihat di kejauhan, Cao pun tersenyum lega.Â
Ma datang menghampiri Cao. Dengan nada kesal, Ma bertanya kepada istrinya yang sedari tadi kedinginan menunggunya.Â
"kenapa kau di sini, sudah kubilang tunggu di rumah. Di luar dingin sekali," kata Ma.
Alih-alih menjawab pertanyaan suaminya, Cao menyerahkan sebotol air hangat yang dia simpan di balik mantelnya untuk diminum suaminya.
Cao berkata, "setiap kali air di botol ini mendingin, aku pulang ke rumah dan menukarnya lagi dengan air panas, hingga tiga kali aku menukarnya tapi kau belum datang juga,"kata Cao, dengan nafas agak sesak karena kedinginan.
Mendengar itu, Ma terdiam sejenak dengan melihat wajah istrinya. Lalu mereka pulang.
3. Musim Semi, saatnya panen gandum dan membangun rumah kita.
Ketika gandum sudah menguning, Ma dan istrinya memanen gandum yang mereka tanam bersama di awal musim.
Sekalipun Cao Guiying memiliki kekurangan, namun hal itu tidak membuatnya malas dan menyalahkan keadaan. Dia justru menunjukkan kepada suaminya bahwa dia sangat ingin membangun rumah tangga bersama Ma.
Dia melakukan segala pekerjaan yang dikerjakan Ma. Mulai dari memanen, memengumpulkan jerami, mengikat dan mengangkat ke atas gerobak. Â Saat akan mengangkat gandum ke atas gerobak, Cao berulang kali terjatuh karena tidak mampu mengangkat gulungan gandum, dia sedikit lemah dari biasanya.
Melihat itu, terlontar kata-kata yang sedikit kasar dari mulut Ma. Mendengar itu, Cao sedih bukan main, hingga ia tidak mau menaiki gerobak ketika perjalan pulang, padahal biasanya dia selalu naik.
Ma menyadari kalau istrinya sedang sedih. Sesampainya di rumah mereka, Ma mengajak istrinya untuk duduk di dekat tumpukan jerami gandum.Â
Ma mengambil tangan istrinya dan meletakkannya di atas lututnya sendiri. Kemudian Ma mengambil enam butir gandum yang dia kupas kulitnya. Dia memandang istrinya dengan isyarat agar kekasihnya itu melihat apa yang terjadi kemudian.
Ma lalu menempelkan butiran gandum tersebut ke tangan Cao dengan sedikit menekan. Rupanya dengan butiran gandum itu, Ma membentuk pola bunga di tangan Cao.
Melihat itu, raut wajah Cao yang tadinya murung dan sedih, seketika berubah cerah dengan mata yang berbinar. Mereka berdua pun tersenyum sambil memandang satu sama lain.
- - -
Masih banyak momen yang mereka lewati bersama di sepanjang drama tersebut. Ada yang begitu indah. Namun ada pula momen getir yang layak untuk ditangisi.Â
Yang jelas, film ini mengajarkan kita tentang arti sebuah pengorbanan demi mewujudkan sebuah cinta. Kadang kala cinta itu datang tanpa diduga. Akan tetapi tidak jarang cinta itu ibarat sebutir gandum. Dia harus ditanam dahulu lalu disiangi. Hingga akhirnya gandum tersebut menguning dan jatuh kembali ke bumi, dan menyatu dengannya.
- - - Ditulis di Padang, di saat diam di tengah keramaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H