Ketika gandum sudah menguning, Ma dan istrinya memanen gandum yang mereka tanam bersama di awal musim.
Sekalipun Cao Guiying memiliki kekurangan, namun hal itu tidak membuatnya malas dan menyalahkan keadaan. Dia justru menunjukkan kepada suaminya bahwa dia sangat ingin membangun rumah tangga bersama Ma.
Dia melakukan segala pekerjaan yang dikerjakan Ma. Mulai dari memanen, memengumpulkan jerami, mengikat dan mengangkat ke atas gerobak. Â Saat akan mengangkat gandum ke atas gerobak, Cao berulang kali terjatuh karena tidak mampu mengangkat gulungan gandum, dia sedikit lemah dari biasanya.
Melihat itu, terlontar kata-kata yang sedikit kasar dari mulut Ma. Mendengar itu, Cao sedih bukan main, hingga ia tidak mau menaiki gerobak ketika perjalan pulang, padahal biasanya dia selalu naik.
Ma menyadari kalau istrinya sedang sedih. Sesampainya di rumah mereka, Ma mengajak istrinya untuk duduk di dekat tumpukan jerami gandum.Â
Ma mengambil tangan istrinya dan meletakkannya di atas lututnya sendiri. Kemudian Ma mengambil enam butir gandum yang dia kupas kulitnya. Dia memandang istrinya dengan isyarat agar kekasihnya itu melihat apa yang terjadi kemudian.
Ma lalu menempelkan butiran gandum tersebut ke tangan Cao dengan sedikit menekan. Rupanya dengan butiran gandum itu, Ma membentuk pola bunga di tangan Cao.
Melihat itu, raut wajah Cao yang tadinya murung dan sedih, seketika berubah cerah dengan mata yang berbinar. Mereka berdua pun tersenyum sambil memandang satu sama lain.
- - -
Masih banyak momen yang mereka lewati bersama di sepanjang drama tersebut. Ada yang begitu indah. Namun ada pula momen getir yang layak untuk ditangisi.Â
Yang jelas, film ini mengajarkan kita tentang arti sebuah pengorbanan demi mewujudkan sebuah cinta. Kadang kala cinta itu datang tanpa diduga. Akan tetapi tidak jarang cinta itu ibarat sebutir gandum. Dia harus ditanam dahulu lalu disiangi. Hingga akhirnya gandum tersebut menguning dan jatuh kembali ke bumi, dan menyatu dengannya.