Rasanya sulit melepaskan sosial media sekarang ini. Sebuah pernyataan yang juga sebenarnya klise. Selepas menonton The Social Dilemma, sebuah dokumenter sinema dari Netflix, saya seolah mengakui diri sendiri. Bahwa kecanduan kini memiliki barang baru. Sosial media namanya. Gawai pintu depannya. Satu hari tanpa memegang gawai, seolah belahan diri hilang.
Keimanan kini bertambah satu agama baru. Gawai dan sang nabinya, sosial media. Bangun tidur, buka gawai, cek status Whatsapp. Sambil makan, buka gawai, unggah foto di Instagram. Istirahat kerja, buka gawai, stalking di Facebook. Sebelum masuk toilet, berdoa buka Youtube, tonton sambil menunggu limbah keluar. Teringat satu unggahan twitter dari kerabat, yang bunyinya "hapeku adalah berhala". Dan mengingat tweet tersebut, adalah salah satu keimanan saya.
Dalam The Social Dilemma, Tristan menjelaskan bahwa teknologi bisa menjadi pesulap agung terbaik masa kini. Ia dapat memanipulasi pikiran dan persepsi. Bedanya dengan para pakar sulap dulu, teknologi lebih tahu apa yang Anda lakukan. Prediksi yang sangat presisi adalah keunggulannya.Â
Dalam aplikasi yang kita pakai, sosial media yang kita pasang. Tombol like, unggah, rekomendasi adalah trik teranyar pesulap ini. Mereka tahu apa yang memungkinkan Anda sukai. Objek apa yang cocok dengan perilaku Anda belakangan ini. Sejarah Anda terekam akurat. Kemudian menyediakan beragam pintu di balik layar gawai. Untuk diketuk dan dimasuki. Yang sebenarnya sudah disusun rapi, Anda akan kesana dan kesini. Seperti pilihan "kartu ini telah diacak" yang selalu dibilang pesulap. Trik pamungkasnya disana.
Di balik layar, para desainer dan kreator program tak hanya paham kode biner. Ataupun bahasa komputer lainnya. Mereka juga paham psikologi manusia. Mereka paham bagaimana seseorang akan berpikir dan bertindak. Contohnya saja, seberapa sering Anda menemukan objek yang sesuai dengan jejak intenet yang dilalui?.Â
Objek yang tiba-tiba muncul di kolom pencarian Google, ataupun tampil di sepanjang sisi situs yang dikunjungi. Atau Anda justru tidak menyadarinya. Nyatanya benar adanya. Seolah menunjukkan jejak kaki penjahat yang harus diikuti. Menuntun ke satu tujuan. Dan kita dijejali dengan segala informasi mengenai itu. Untuk semakin membentuk pikiran dalam alam bawah sadar. Semakin dihujani, semakin menjadi sebuah fakta yang meyakinkan bagi seseorang. Untuk akhirnya, klik sesuai prediksi.
Sosial media dan kerabatnya sangat ahli dalam persuasi. Mereka, benda tersebut meyakinkan penggunannya untuk terpengaruh melakukan sesuatu. Sihir apa yang membuat mereka mampu melakukan hal tersebut. Mengetahui apa yang Anda suka. Sebelum masuk aplikasi, sebelum memasangnya, bukankah ada data yang perlu diisi.Â
Nama, tanggal lahir, tahun lahir, tempat tinggal, makanan kesukaan, komunitas favorit. Selepas itu, sosial media akan melahirkan deretan sihir baru. "oh kamu lahir tahun sekian, umur sekian. Ini orang-orang yang mungkin kamu kenal dan satu hobi", kemudian terus menggiring Anda ke satu tempat lainnya.
 "Oh, kamu suka orang ini, selama 30 menit menghabiskan waktu untuk memandangi Instagramnya. Ini, kegiatan lainnya yang bisa kamu ikuti". Kemudian perlahan manipulasi memasuki. "Oh, kamu sering membuka situs ini, menyukai kategori video ini. Ini barang yang cocok untuk kamu". Terus dan terus, hingga kita menganggap itu sebuah kebiasaan.
Menyinggung sisi psikologi manusia, sosial media teramat ahli. Sosial media tahu titik rentan untuk Anda terus menatap layar gawai. Isu bahwa sosial media berdampak pada psikis, stress, tindakan sosial, adalah bukan hal yang baru. Pengguna sosial media di dunia ratusan juta. Ratusan miliar aktivitas di jagat maya.Â
Menggunakan satu akun sosial media, ratusan juta orang dapat terhubung dengan Anda. Ratusan kali feedback akan didapatkan dalam satu waktu. Like, dislike, komentar, block, follow dan sebagainya. Dan itu berpengaruh. Menjadi terasing di dunia yang memiliki ratusan juta mata bukanlah hal yang menyenangkan.Â
Bukan juga hal yang mengejutkan. Karena itu terjadi seringkali adanya. Persepsi Anda bergantung pertimbangan khalayak maya. Apa yang sedang kekinian, adalah pilihan utama.Â
Atau apa yang sedang mereka sukai, itu yang perlu dilaksanakan. Betapa rentannya psikis seseorang jika mengetahui seberapa tak disukai mereka di sosial media. Mungkin juga, tak digubris sama sekali berdampak sama. Tidak tag foto adalah penistaan, aib, dan dosa tak terampunkan. Perasaan tidak menjadi bagian dari komunitas sosial media adalah barang nyata. Kejadian menyakiti diri sendiri, bunuh diri dan depresi karenanya tidak terjadi di dunia maya, namun di nyata, dialami para pengguna.
Diet sosial media kemudian terdengar belakangan ini. Mereka sadar, dampaknya tak bisa dibendung. Setidaknya, tak semua orang dapat membendungnya. Sosial media atau aplikasi serupa lainnya, hanya memberikan informasi sesuai jari Anda menunjuk kemana. Ia tidak tahu mana benar, mana salah. Anda suka ini, muncullah hal yang "related" dengan hal itu. Apakah itu benar atau salah secara moral dan etika yang ada bukanlah perkaranya.Â
Maka, kita hanya menerima apa yang membenarkan persepsi. Seolah apa produk pikiran kita adalah kebenaran yang tunggal. Didukung lingkungan dalam sosial media akan memfasilitasinya. Pandangan berbeda?, itu tidak teralgoritmakan. Kotak kotak kemudian terbentuk. Tingkat polarisasi semakin tinggi, semakin tak berdekatan.Â
Informasi yang selalu datang, konsisten, akan dianggap sebuah kebenaran. Celakanya, informasi tersebut bukan masalah benar atau salah. Hanya untuk menunjukkan seberapa Anda tertarik saja. Meyakininya, adalah keputusan pribadi, yang juga tercipta karena tak ada khazanah informasi masuk lainnya. Katak dalam tempurung.
Kembali ke film yang sempat dibahas di awal. Sebagian besar para creator tersebut bahkan tak mengizinkan anaknya untuk bermain gawai. Tidak untuk menjadi teman tidur. Mencoba untuk mengubah apa yang telah terjadi dengan perubahan kecil pada jemari gawai. Mengikuti orang beda pandangan pada sosmednya, tidak tergiur melihat video rekomendasi di Youtube, atau memakai pencarian yang tidak merekam jejak internet.Â
Satu hal yang direnggut oleh "sistem" sosial media adalah hak privasi. Privasi sepertinya beralih fungsi menjadi layanan publik sekali klik. Sosial media menjadi tokoh utama dalam cerita manusia. Ia ada dalam gawai, dipersilahkan masuk oleh penggunanya. Kemudian, tanpa sadar melancarkan serangannya dari dalam gawai. Bak kisah kuda troya. Bagaimana endingnya?, tanyakan saja pada manusianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H