Mohon tunggu...
Wahyu Awaludin
Wahyu Awaludin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

PPSDMS Angkt.V | co-admin @anakuidotcom | Ketua BEM FIB UI 2011 | Tim Ahli BEM FIB UI 2012 | Freelance Writer | Social Media Player | Pembelajar | A Dreamer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mozaik Masa Kecil Helvy: Sebuah Kawah Candradimuka yang Tak Terganti

12 April 2010   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kelas 3 SD, muncul lagi satu hobi Helvy: bermain ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Tujuannya jelas, yakni ingin bertemu dengan para penulis dan para sastrawan yang sering mangkal di TIM. Mereka adalah Putu Wijaya, Rendra, Taufik Ismail, dan masih banyak lagi. Dengan membawa sebuah piring beling kecil, hampir setiap hari setelah pulang sekolah Helvy berjalan kaki dari gunung Sahari ke TIM. Dengan tubuh hitam, kurus kering, berkepang dua, dan membawa piring beling, Helvy pun mengamen puisi di hadapan para penulis senior itu.

Suatu ketika saat mengamen di TIM, Helvy melihat Putu wijaya. Maka, ia pun bergegas mengamen puisi di depan Putu. Putu Wijaya, tanpa menoleh, memberi Helvy uang Rp50. Taufik Ismail juga memberi Helvy Rp50, sedangkan Arifin C Noer memberinya Rp25.

Setelah pulang dari TIM, Helvy bilang ke Asma kalau dia ingin menulis surat kepada pengarang-pengarang yang bukunya sudah ia baca. Ia ingin menanyakan kata-kata yang tidak ia pahami. Maka, Helvy pun menulis untuk Putu Wijaya, Taufik Ismail, dan pengarang-pengarang lain. Surat itu tak pernah dibalas, tetapi Helvy juga jadi mulai menulis surat untuk Agatha Cristhie, Sidney Sheldon, dan lainnya. Namun, kebiasaan itu berlanjut hanya sampai kelas 6 SD.

Momen-momen seperti itu sangat membekas dalam hati Helvy kecil. Tampaknya pertemuannya yang intens dengan para penulis senior pada waktu Helvy masih bocah telah menumbuhkan perjuangan Helvy yang luar biasa untuk menjadi penulis. Momen-momen itu adalah momen magis yang tak tergantikan oleh apapun: sebuah kawah candradimuka penguatan mental seorang anak kecil yang bermimpi menjadi penulis.

Nanti, puluhan tahun setelah itu, Helvy dewasa menemui Taufik Ismail dan bertanya, "pak, bapak ingat tidak, saya kan pernah ngamen puisi."

Taufik Ismail bertanya, "oh, kapan itu, Helvy?"

"Waktu saya berusia delapan tahun. Bapak ingat tidak, ada anak yang kurus kering, hitam, berkepang dua, bawa pering beling..."

"Ooo, itu ya?"

"Ya, itu, yang bapak lantas memberi uang Rp50 dan saya disuruh pergi jauh-jauh."[8]

Masa Perkembangan

Ketika Helvy menginjak bangku SMP, majalah-majalah remaja mulai disapu bersih oleh Helvy. Pernah ada sebuah majalah yang terbit isinya semua tulisan dari Helvy. Untuk mengakali hal itu, ia punya akal. Ia memfotokopi kartu pelajar teman-temannya dan memakai nama pena banyak sekali. Untuk rasa terima kasih, Helvy membelikan bakso untuk teman-teman yang telah ia catut namanya. Karena "ulahnya" itu, Helvy mempunyai nama samaran lebih dari dua puluh nama. Dan nama yang paling ia sukai adalah Widhi Asmara.[9] Ada cerita lucu tentang hal ini. Cerpen-cerpen yang ditulis tangan oleh Helvy tidak pernah ada yang dimuat, tetapi ketika ia menulis ulang dengan mesin tik yang dipinjam dari tetangganya, tiba-tiba saja cerpennya langsung dimuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun