Weber dalam Economic and Society (1978) mendefinisikan patrimonialisme sebagai pola kekuasaan yang dicirikan oleh ketaatan kepada pemimpin tradisional bukan karena otiritas legal firmal yang melekat pada sebuah posisi struktural, melainkan karena pribadinya.
Budaya politik patrimonialistik dicirikan oleh empat hal: Pertama, kecendrungan untuk mempertukarkan sumber daya (resources exchange). Kedua, kebijajannya bersifat partikularistik, tidak universalistik. Ketiga, penegakan hukum bersifat sekunder. Keempat, penguasa politik sering sekali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Lanjutan dari politik patrimonial atau klientelisme yang juga membajak demokrasi adalah lahirnya negara atau pemerintahan bayangan (shadow state) yang merujuk pada studi Wiliam Reno di Sierra Leone, Afrika dan Barbara Haris White di India dan untuk di Asia Tenggara studi yang dilakukan Joel S Migdal dan Jhon T Sidel dan Syarif Hidayat sebagai basis teori negara bayangan.
Inti dari negara atau pemerintahan bayangan (shadow state) adalah terjadinya pengambilalihan terhadap sumber daya yang sedianya menjadi domain negara formal justru diambil alih oleh sistem patronase yang terorganisir ini. Negara dan pasar akhirnya menjadi duo aktor antagonis terhadap kesejahteraan rakyat karena yang penting bagi keduanya adalah mengamankan sekaligus memaksimalkan keuntungan di posisinya masing-masing melalui perannya masing-masing.
Perspektif sosiologi politik dengan pemilihan umum secara langsung yang menjadikan masyarakat sebagai arena pertarungan menimbulkan apa yang disebut dengan fenomena membantu dengan pemberian (endowed), sebagaimana dirumuskan oleh Lewis A. Coser (1977) membajak demokrasi dengan munculnya fenomena politik uang (money politic), jual beli suara (money buys voters) dan politik transaksional yang dilakukan peserta dan penyelenggara pemilu yang mengancam pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil.
Para ilmuan, peneliti dan akademisi telah banyak melakukan riset dan studi tentang fenonena dibajaknya demokrasi di negara-negara berkembang oleh elite baik dalam area pemerintahan lokal (local goverment) maupun pemerintahan nasional atau pusat.
Riset dan kajian semacam ini diperlukan, karena merupakan hulu persoalan pemerintahan yang mesti diselesaikan. Pembajakan demokrasi oleh elite dengan berbagai fenomena dan bentuknya itu harus dicegah melalui keberpihakan dan komitmen untuk memperbaiki konsolidasi demokrasi.
Solusi untuk Aksi
Berbagai fenomena demokrasi yang dibajak oleh kepentingan elite tentu saja harus diselamatkan. Bagaimana solusi untuk aksi agar konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak terncam gagal dan Indonesia terancam menjadi negara gagal.
Pertama, sudah menjadi keharusan dan kewajiban agar penyelenggara Pemilu bekerja profesional dan transparan menjunjung prinsip kejujuran dan keadilan, berpihak pada penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil dan Mahkamah Konstitusi dapat bekerja secara profesional dan mengedepankan prinsip keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Kedua, negara dan pemerintah menjamin Indonesia tidak terancam menjadi negara gagal sebagaimana Kompas, 16 Juli 2011, menulis tentang "Indonesia Miliki Ciri Negara Gagal" yaitu: 1) tak ada jaminan keamanan untuk semua warga negara. 2) hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 3) korupsi justru dilakukan lembaga yang seharusnya melakukan pemberantasan terhadapnya. 4) terjadinya bentrokan horizontal. 5) pemerintah gagal memenuhi kebutuhan masyarakat.