Mohon tunggu...
Wahyu Triono KS
Wahyu Triono KS Mohon Tunggu... Dosen - Peofesional

Founder LEADER Indonesia, Chief Executive Officer Cinta Indonesia Assosiate (CIA) Dirut CINTA Indonesia (Central Informasi Networking Transformasi dan Aspirasi Indonesia). Kolumnis, Menulis Buku 9 Alasan Memilih SBY, SBY Sekarang! Satrio Piningit Di Negeri Tuyul, JK-WIRANTO Pilihan TERHORMAT, Prabowo Subianto Sang Pemimpin Sejati, Buku Kumpulan Puisi Ibu Pertiwi dan menjadi Editor Buku: Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari (Penulis Dr. Emir Soendoro, SpOT), Buku Reformasi Jaminan Sosial Di Indonesia, Transformasi BPJS: “Indahnya Harapan Pahitnya Kegagalan”, Buku Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah, Buku Dinamika Penye-lenggaraan Jaminan Sosial Di Era SJSN, Buku Kebijakan Publik (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan (Penulis Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc). Buku BPJS Jalan Panjang Mewujudkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penulis dr. Ahmad Nizar Shihab, Sp.An). Buku Kembali Ke UUD 1945 (Penulis Dr. Emir Soendoro, SpOT), Buku KNPI & Pemuda Harapan Bangsa (Penulis Robi Anugrah Marpaung, SH. MH). Menjadi Ketua Umum HMI Cabang Medan 1998-1999, Ketua PB HMI 2002-2004, Koordinator MPK PB HMI 2004-206 dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP KNPI 2008-2011.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlukah Rekonsiliasi?

9 Juni 2019   15:05 Diperbarui: 9 Juni 2019   17:50 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Weber dalam Economic and Society (1978) mendefinisikan patrimonialisme sebagai pola kekuasaan yang dicirikan oleh ketaatan kepada pemimpin tradisional bukan karena otiritas legal firmal yang melekat pada sebuah posisi struktural, melainkan karena pribadinya.

Budaya politik patrimonialistik dicirikan oleh empat hal: Pertama, kecendrungan untuk mempertukarkan sumber daya (resources exchange). Kedua, kebijajannya bersifat partikularistik, tidak universalistik. Ketiga, penegakan hukum bersifat sekunder. Keempat, penguasa politik sering sekali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Lanjutan dari politik patrimonial atau klientelisme yang juga membajak demokrasi adalah lahirnya negara atau pemerintahan bayangan (shadow state) yang merujuk pada studi Wiliam Reno di Sierra Leone, Afrika dan Barbara Haris White di India dan untuk di Asia Tenggara studi yang dilakukan Joel S Migdal dan Jhon T Sidel dan Syarif Hidayat sebagai basis teori negara bayangan.

Inti dari negara atau pemerintahan bayangan (shadow state) adalah terjadinya pengambilalihan terhadap sumber daya yang sedianya menjadi domain negara formal justru diambil alih oleh sistem patronase yang terorganisir ini. Negara dan pasar akhirnya menjadi duo aktor antagonis terhadap kesejahteraan rakyat karena yang penting bagi keduanya adalah mengamankan sekaligus memaksimalkan keuntungan di posisinya masing-masing melalui perannya masing-masing.

Perspektif sosiologi politik dengan pemilihan umum secara langsung yang menjadikan masyarakat sebagai arena pertarungan menimbulkan apa yang disebut dengan fenomena membantu dengan pemberian (endowed), sebagaimana dirumuskan oleh Lewis A. Coser (1977) membajak demokrasi dengan munculnya fenomena politik uang (money politic), jual beli suara (money buys voters) dan politik transaksional yang dilakukan peserta dan penyelenggara pemilu yang mengancam pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil.

Para ilmuan, peneliti dan akademisi telah banyak melakukan riset dan studi tentang fenonena dibajaknya demokrasi di negara-negara berkembang oleh elite baik dalam area pemerintahan lokal (local goverment) maupun pemerintahan nasional atau pusat.

Riset dan kajian semacam ini diperlukan, karena merupakan hulu persoalan pemerintahan yang mesti diselesaikan. Pembajakan demokrasi oleh elite dengan berbagai fenomena dan bentuknya itu harus dicegah melalui keberpihakan dan komitmen untuk memperbaiki konsolidasi demokrasi.

Solusi untuk Aksi

Berbagai fenomena demokrasi yang dibajak oleh kepentingan elite tentu saja harus diselamatkan. Bagaimana solusi untuk aksi agar konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak terncam gagal dan Indonesia terancam menjadi negara gagal.

Pertama, sudah menjadi keharusan dan kewajiban agar penyelenggara Pemilu bekerja profesional dan transparan menjunjung prinsip kejujuran dan keadilan, berpihak pada penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil dan Mahkamah Konstitusi dapat bekerja secara profesional dan mengedepankan prinsip keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat Indonesia.

Kedua, negara dan pemerintah menjamin Indonesia tidak terancam menjadi negara gagal sebagaimana Kompas, 16 Juli 2011, menulis tentang "Indonesia Miliki Ciri Negara Gagal" yaitu: 1) tak ada jaminan keamanan untuk semua warga negara. 2) hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 3) korupsi justru dilakukan lembaga yang seharusnya melakukan pemberantasan terhadapnya. 4) terjadinya bentrokan horizontal. 5) pemerintah gagal memenuhi kebutuhan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun