Demokrasi modern dengan sistem pemilihan umum langsung berdasarkan prinsip menang kalah dengan ketentuan suara terbanyak membawa dua konsekuensi logis dalam praktik mendapatkan dukungan suara pemilih.
Konsekuensi logis pertama berkaitan dengan lahirnya demokrasi liberal dan kapitalisme dunia politik yang ditandai dengan lahirnya industri politik.
Konsekuensi logis kedua berkaitan dengan pentingnya mengetahui preferensi (acuan) bagi para pemilih dalam memilih kandidat di setiap pemilihan umum secara langsung.
Pada dua konsekuensi logis itu kita akan melakukan analisis dengan menggunakan teori kebutuhan dan teori harapan.
Industri Politik
Kompetisi demokrasi dengan sistem menang-kalah yang menetapkan kemenangan berdasarkan suara terbanyak menyebabkan setiap kandidat dan tim pemenangan menggunakan segala daya dan cara untuk mendapatkan dukungan suara pemilih.
Begitu demokrasi yang berpaham bebas ini menjadikan masyarakat sebagai arena pertarungan, maka lahirlah industri politik dan hanya yang memiliki sumber daya yang akan memenangkan pertarungan.
Industri politik atau tepatnya kapitalisasi politik berada pada seputar jasa yang memberi penawaran bagi kandidat atau tim pemenangan untuk mendapatkan tips dan trik serta strategi jitu mendekati pemilih, bagaimana menyusun isu, tema dan program serta mengemas citra positif kandidat yang disesuaikan dengan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan pemilih.
Perkembangan selanjutnya, demokrasi modern termasuk yang kini tengah berlangsung di Indonesia memasuki suatu era yang membuka seluas-luasnya bagi tumbuhnya bidang-bidang dan profesi konsultan politik dan manajemen kampanye, jasa riset, lobys, media relation, copy writer, speak writer, analyst, advertising, printing, editor, digital media campaign, volunteers, buzzers media sosial, dan lain-lainnya.
Seluruh profesi di industri politik itu yang paling menonjol dalam perkembangan demokrasi dan pemilihan dengan sistem pemilu langsung yang akan mengarah pada pemilu serentak adalah profesi konsultan politik dan manajemen kampanye serta para surveyor dan owner lembaga survey politik.
Bak selebriti papan atas, mereka tampil di berbagai media dan televisi yang kadang tak mau kalah popular dari kandidat dan pimpinan partai pengusung dan pendukung.