Salah satu contoh Undang-Undang yang menimbulkan pro dan kontra serta memberi peluang terjadinya moral hazard adalah Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan, karena UU Pajak Penghasilan dianggap sebagai UU yang tidak demokratis (Monaf H. Regar: 2009).
Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa semua pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini memerlukan suatu penafsiran yang jelas karena harus diketahui ketentuan yang bagaiamana yang dimaksud haus ditetapkan dengan undang-undang. Pajak menyangkut masalah yang luas sehingga perlu diketahui yang mana merupakan ketetapan yang harus dimasukkan dalam undang-undang.
Pajak mencakup berbagai masalah jenis pajak, siapa yang akan dikenakan, berapa beban yang harus dipikul, apa sangsi jika terjadi pelanggaran, bila harus dibayar dan dilaporkan, cara pembayaran, biaya yang boleh dikurangkan, pengecualian, dan banyak hal lain. Undangundang tidak akan dapat mengatur semua masalah ini.
Pada umumnya objek, subjek, tarif, sangsi ditentukan oleh undang-undang. Tanpa ada keempat unsur ini tidak ada pajak, artinya peraturan pajak menetapkan keempat unsur ini. Ternyata Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pandangan yang lain, secara sengaja ataupun karena tidak menyadarinya. Beberapa ketentuan dalam undang-undang pajak menyerahkan wewenang yang menyangkut keempat unsur ini kepada peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak.
Kebijakan seperti ini tujuannya untuk mempermudah dalam mengadakan ketentuan yang lebih rinci dan memudahkan mengadakan perubahan. Sebaliknya wewenang seperti ini tidak sesuai dengan prinsip pajak yang demokratis dan yang sehat. Pajak yang diartikan untuk menentukan objek atau sasaran pajak, subjek pajak atau yang bertanggungjawab mengenai pembayaran pajak, tarif pajak yang merupakan beban yang ditimpakan kepada pembayar pajak serta sangsi karena pelangggaran pajak harus ditentukan dengan undang-undang dan tidak diserahkan kepada peraturan yang lebih rendah. Penyimpangan ini sama dengan pelanggaran sistim demokrasi yang dianut yang dimaknakan sebagai suara rakyat.
Kedua, hal paling terpenting lain dalam menghindari upaya kejahatan moral hazard adalah soal fungsi pengawasan baik yang sifatnya internal dan eksternal yang dilakukan mulai dari inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga pengawasan oleh DPR RI serta pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat luas terutama oleh media massa.
Prinsip dan pentingnya pengawasan ini bertitik tolak dari suatu adagium Lord Acton, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cendrung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Dengan demikian, semua kekuasaan termasuk yang melakukan pengawasan harus diawasi, begitu juga dengan KPK, agar tidak terjadi moral hazard.
Penutup
Upaya berbaikan atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU KPK, UU Pajak Penghasilan dan peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang bertujuan mulia agar tidak terjadi kejahatan moral hazard akibat kekuasaan yang absolut atas nama undang-undang musti mendapat dukungan dari semua pihak.
Berbagai upaya perbaikan dan pembenahan sedang dilakukan oleh DPR dan pemerintah seperti UU Pengampunan Pajak yang diharapkan mendorong terjadinya perbaikan di sektor perpajakan kita dan kita berprasangka baik saja agar kiranya revisi UU KPK diperlukan untuk mendorong bangsa Indonesia segera lepas dari bahaya dan situasi darurat korupsi serta menghindari kita dari kejahatan moral hazard. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H