Mohon tunggu...
wahy
wahy Mohon Tunggu... -

twitter @wahysaleh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bang Arsyad, Jangan Sampai "Quatrick" oleh Indra J Piliang Sang Gerilya Institut

20 Januari 2018   11:53 Diperbarui: 20 Januari 2018   12:13 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singkat cerita, saya bertemu dengan Bang Arsyad dalam ruang tamu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB), Prof Dr Yuddy Chrisnandi. Posisi Bang Arsyad masih sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Riau. Kebetulan, saya menjabat sebagai Ketua Tim Ahli Menteri PANRB. Bang Arsyad terlihat terkejut, karena sudah jarang  berjumpa saya. Beliau lagi konsultasi kepada menteri terkait proses pengangkatan sejumlah pejabat setara eselon dua di Riau. Kehadiran UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebabkan terjadinya lelang jabatan untuk posisi dimaksud. Hanya saja, enam Peraturan Pemerintah di bawah UU No 5/2014 itu sama sekali belum ditanda-tangani Presiden RI. Kami di lingkungan KemenPANRB baru membahas diktum-diktumnya sebagai klausulan dalam sejumlah kegiatan.

Guna memastikan bahwa pengangkatan pejabat setara eselon dua di Provinsi Riau itu sesuai dengan jiwa, semangat dan substansi UU No 5/2014, Menteri PANRB, Prof Dr Yuddy Chrisnandi berangkat ke Riau, berbicara di hadapan stakeholders terkait, pun menikmati makan siang di Kantor Bupati Pelalawan, Kanda Harris. Saya juga hadir dalam kesempatan itu. Di mobil yang sama dengan  Yuddy dan Bang Arsyad, saya mendengar percakapan keduanya, termasuk hubungan telepon dengan sejumlah pejabat penting di Jakarta, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Pak Luhut Binsar Panjaitan. 

Dalam posisi seperti ini – sebagaimana juga sejumlah perjalanan saya dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Ir Aburizal Bakrie – tugas saya  adalah membaca secara kritis isu-isu apapun, berdialog dengan tokoh-tokoh tersebut berdasarkan “bacaan” saya itu, baik informasi yang terhidang via media massa, fakta lapangan dari jaringan intelektual yang saya tanya, hingga analisa situasional secara cepat. Tapi, lebih sering saya menjadi tempat untuk mengeluarkan ledekan sebagai junior di ketinggian jagad politik Indonesia.

Malamnya, Bang Arsyad mampir ke hotel tempat saya menginap, lalu mengajak untuk minum kopi di kedai kaki lima bersama sejumlah mahasiswa dan aktivis. Mahasiswa dan aktivis adalah dua komponen yang selalu saya undang datang, ke kota manapun saya bepergian. Kebersahayaan dan kesederhanaan Bang Arsyad tak terlihat dibuat-buat. Tapi memang, kekakuannya sebagai pejabat publik terlihat kentara. Sosok yang lebih nyaman memanggul tas ransel di tengah lalu lalang kesibukan dunia ini – begitu saya lihat kalau ia sudah turun dari pesawat dan lepas dari “aturan” protokoler – seakan berkata tapi tak terucap: “Jabatan ini amanah yang membebani kepala, bahu dan punggung saya, lho.”

Aturan protokoler bisa saja membuat seorang pemimpin terasa berjalan dengan mimpi-mimpi pribadinya, sementara rakyat tersaruk dengan air mata dan nasib peruntungan badan diri. Mungkin karena wajahnya yang kaku, atau tak berminat belajar pantomin, apalagi menonton stand up comedy di layar televisi, membuat sosok Bang Arsyad tak selincah ketika menjadi dirinya sendiri.

Saya beberapa kali ke Pekanbaru atau Riau dalam era kegubernurn Bang Arsyad, tapi sama sekali tak ada membuat janji apapun untuk bertemu dengannya. Kadang, ia berjumpa di kawasan VVIP, sedang mengantar atau menjemput pejabat negara lainnya, lalu terkejut melihat saya ada di ruangan yang sama tanpa sama sekali “melapor” kepadanya.

Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, Gubernur memang memiliki atasan “yang banyak” di Jakarta, sekalipun secara kewilayahan (teritorial), Gubernur hanya melayang-layang di area-area yang sudah bertuan, yakni Sang Bupati atau Sang Walikota. Gubernur barangkali hanyalah sebagai pemintal benang keindonesiaan dalam rupa keprovinsian, ketimbang tukang pos antara rakyat dengan para penguasa di Jakarta.

Dan kembali saya tercenung, kenapa sejumlah urusan sogok-menyogok, bermuara kepada seorang Gubernur yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana? Padahal, “Putus!” kata Gubernur, belum tentu “Putus!” pula kata Bupati atau Walikota, kini malahan Kepala Desa. Kenapa seorang Gubernur bisa terkena?

Dan tak banyak yang saya ucapkan, setiap kali bertemu Bang Arsyad, termasuk dalam acara-acara kepartaian. “Ingat, Bang, jangan sampai quatrick! Riau sudah hattrick!” kata saya, mungkin sebanyak pertemuan kami dimanapun itu.

Dan saya ikut bergembira, walau survei bang Arsyad dalam pilgub Riau 2018 seperti matahari yang disembunyikan awan Jakarta pagi ini: Bang Arsyad sudah memutus – paling tidak dalam 4 tahun masa kegubernurannya –belenggu korupsisimus dalam roda pemerintahannya. Saya tidak tahu, apa ia akan memperoleh kesempatan kedua, yakni menjadi pemenang pilgub Riau pada 27 Juni 2018 nanti. Saya belum sempat ucapkan kata “Selamat” sambil menggenggam tangannya.

Dan, kalaupun nanti – Inshaa Allah, dengan kerja yang sulit seperti menempuh Sungai Siak dengan perahu kecil – mendapatkan kesempatan kedua itu, saya akan tetap berucap “Bang, jangan sampai quatrick!” secara berulang sampai tiga kali. Ya, beban bukan semakin ringan, justru semakin berat lagi. Wallahu ‘alamu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun