Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Dari Supersemar ke Supersamar

14 Maret 2018   05:30 Diperbarui: 11 Maret 2019   00:32 3783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.merdeka.com

Anehnya, Supersemar yang dalam posisi-nya sebagai Instruksi Presiden(Inpres) tersebut kemudian didalam Sidang Umum IV MPRS ditempatkan dalam Ketetapan (TAP) MPRS dengan Nomor IX/MPRS/1966.   Tujuan utamanya tiada lain adalah memperkuat kedudukan Letjen Soehartoselaku pengemban Supersemar.

Disitu nampak sekali permainan politik tingkat tinggi namun, mereka lupa dengan ditetapkannya Supersemar itu dalam TAP MPRS berarti menegaskan secara kuat pelaksanaan dari isi Supersemar tersebut.

Karena ini demi kepentingan umum, rakyat banyak, seyogianya TAP MPRS tadi dijabarkan pula dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang menjadi gaweannya DPR-GR. Tetapi, yang demikian itu tidak terjadi sampai sekarang ini padahal, TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tersebut tidak pernah dicabut hingga kini.

Jadi, Supersemar itu dalam statusabadi hingga saat ini dan seharusnya pula perlu diwariskan kepada anak-anak Soehartosebagai pewarisnya dan berikan kepada mereka untuk memimpin Negara RI ini. Semua Presiden yang datang kemudian, sesudah Soehartoditurunkan pada tahun 1998, tidak sah karena bukan pewaris Supersemar.

Ooo ..., tidak bisa !  Mengapa, tidak bisa ?  Pikir saja oleh Anda, selama 32 tahun Soehartoberkuasa secara estafet, dia selaku penguasa telah merubah Indonesia ini menjadi setengah Republik dan setengah Kerajaan. Jadi, NKRI berubah makna menjadi Negara Kerajaan Republik Indonesia.

MPRS sendiri pada masa-masa 1966 -- 1967 hanya bisanya menghujat Presiden Soekarno untuk meminta pertanggung jawabannya tentang kebijakan Presiden yang dianggap tidak tegas mengutuk dan menumpas PKI dan antek-anteknya.

Dua kali Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban, yang terkenal dengan nama Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, tetapi isi pidato Presiden Soekarnokedua-duanya itu dianggap oleh MPRS yang dipimpin Jendral Abdul Haris Nasution tidak mencerminkan apa yang diminta oleh MPRS, artinya tidak ada ketegasan Presiden Soekarnodalam mengutuk dan menumpas PKI.

Memang, benar Presiden selaku Mandataris MPRS harus memberikan pertangung jawaban kepada MPRS tetapi atas segala kebijakan MPRS yang sudah ditetapkan dalam Ketetapan (TAP) MPRS.

Sementara TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) belum ada pada waktu Presiden Soekarnomenyampaikan pidato Nawaksara pada tanggal 22 Juni 1966. Setelah itulah baru dibuatkan TAP MPRS tentang Pembubaran PKItersebut.

Ini bagaimana cara kerjanya anggota-anggota MPRS pada waktu itu padahal, diantara mereka itu banyak yang bertitel sarjana bahkan, diantaranya ada yang Profesor-Profesor botak, tetapi membiarkan jalannya sidang yang tidak lagi serasi atau accommodate.Apakah diharu biru oleh rasa ketakutan, tidak tahulah kita.

Hanya pada Presiden Soekarno saja dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menghujat. Akhirnya diputuskanlah oleh MPRS memberhentikan Soekarnodari jabatannya sebagai Presiden dan Mandataris MPRS. Keputusan itu bukan didasarkan like and dislike tetapi, didasarkan pada pertimbangan lain yaitu untuk melakukan "kudeta" terhadap Presiden Soekarnosecara konstitusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun