Itulah yang menyebabkan mengapa nafsu untuk berkuasa itu tumbuh sangat kuat di dalam pribadi para kandidat yang memang dari sejak awalnya bibit itu sudah ada pada mereka berdua. Haus kekuasaan, arogan, tinggi sebenang atau mau menang sendiri.
Maka itu semua partai politik dan relawan mereka akan berjuang habis -- habisan untuk memenangkan kandidat yang mereka usung dengan menghalalkan segala macam cara seperti black campaig, agitasi-agitasimurahan, fitnah, hoakssampai kepada money politicsdan merusak atribut-atributkampanye lawan. Â
Mereka sudah mempersiapkan juga "preman-preman benjolan" alias tukang pukul yang siap dikerahkan untuk "membantai" rakyat yang tidak memilih kandidat mereka. Kali ini Pilkada Sumut akan diwarnai dengan chaos demokratiesebab, mereka itu tidak siap kalah, pada mereka hanya ada siap menang. Â Â
Mungkin saja isu saraakan mereka bangunkan kembali untuk menggempur para kandidat yang tidak seagama dengan mereka. Bila perlu mereka menginginkan kasusDKI terulang kembali di Sumut ini agar mereka bisa mendatangkan kaum yang seakidah dengan mereka dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan aksi unjuk rasa disini. Itulah impian mereka, impian orang yang haus kekuasaan.
Kalau itu yang terjadi berarti kita sudah mentradisikanunjuk rasa sebagai salah satu bagian dari demokrasiPemilu, Pilkada maupun Pilpres. Mereka menganggap dengan cara seperti itulah baru bisa direbutnya kekuasaan.
Mereka lupa, dengan cara seperti itu, secara dialektika, akan menimbulkan hasil yang lain, produkyang lain dikemudian hari, bahwa akhirnya dari kekuasaan yang seperti itu akan lahirlah apa yang dinamakan kekuasan agama yang otoriteratau religion authority otoriteristic.
Kehidupan beragama di dalam kekuasaan otoriterakan lebih parah lagi daripada di dalam kekuasaan demokratis.Mereka itu lupa dari sejarah masa lalu ketika kekuasaan ditangan raja-raja dan sultan-sultan. Agama dijadikan sebagai bagian dari alat kekuasaan sehingga kesucian agama itu pun hilang. Â
Namun, lawan politik Djarot -- Sihar (Djasa)lupa bahwa masyarakat Sumut bukan masyarakat yang bisa dibius begitu saja dengan agitasi-agitasi kasusDKI. Mereka lawan-lawan politik itu lupa bahwa ada hukum dialektikayang selalu terjadi dalam dunia politik.
Dihancurkannya Ahokbersama Djarot pada Pilkada DKI yang lalu itu tidak sampai menimbulkan kebencian masyarakat secara massif.Begitu selesai Pilkada DKI Â bertabur ribuan papan bunga memadati kantor Gubernur DKI sampai ke lapangan Monas menunjukkan simpati masyarakat pada Ahok yang didholimi itu. Â
Kasus Ahok tersebut mengundang banyak simpatimasyarakat, termasuk pula masyarakat Sumut. Sehingga dengan dicalonkannya Djarotsebagai Cagubsu sudah pasti akan mendapat simpatidari masyarakat Sumut sehingga tidak ada keraguan untuk memilihnya karena Djarot pun termasuk orang yang didholimi.
Jangan beranggapan dengan mendholimi orang lalu, beranggapan akan masuk surga walau dengan dalil jihad. Apakah pernah Anda bertanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tentang kepastian Anda akan masuk surga. Kalau Anda mau masuk surga dengan jalan merusak, membantai dan mendholimi orang banyak, mana ada dalilnya yang seperti itu. Â Â