Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Perjalanan Pilkada dari DKI ke Sumut

7 Februari 2018   13:36 Diperbarui: 22 Februari 2018   16:11 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paslon Cagubsu Sumut 2018 (nasional.kompas.com)

Tahun 2017 baru saja berlalu dan kini kita sudah memasuki tahun 2018. Pada tahun lalu itu dilaksanakanlah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta beserta beberapa daerah lainnya. Kini tiba pula Pilkada yang sama untuk Provinsi Sumatera Utara bersama dengan beberapa Provinsi lainnya. 

Sudah jamak bahwa Pilkada DKI Jakarta itu adalah Pilkada yang paling "buruk" sepanjang sejarah demokrasi kita. Boleh dikatakan Pilkada DKI itu adalah Pilkada yang paling terburuk diantara semua Pilkada yang pernah ada. Tetapi, dipihak lain ada yang menganggap Pilkada DKI itu adalah yang paling "sukses".

Bagaimanakah tidak buruk, ketika salah satu Cagub DKI mengikuti prosesiPilkada disitu pula dia harus menghadiri sidang pengadilan yang mengadili  dirinya dengan tuduhan penistaan agama.Disamping itu aksi-aksi 411 dan 212 di tahun 2016 lalu turut serta pula membuat tegangnya suasana Pilkada DKI sehingga tidak ada kata lain yang bisa dilekatkan hanyalah kata chaos democratie.     

Yang diadili itu adalah Basuki Tjahya Purnama (Ahok), Cagub petahanaDKI, yang pada Pilkada DKI itu berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, Cawagub petahanaDKI. Meskipun yang diadili itu adalah Basuki Tjahya Purnamaalias Ahoktetapi imbasnya tetap terasa juga pada Cawagubnya sendiri Djarot Saiful Hidayat.

Kini Djarot Saiful Hidayattersebut dicalonkan pula oleh PDI Perjuangan yang berkoalisi dengan PPP sebagai Cagub Sumatera Utara yang berpasangan dengan Sihar Sitorus sebagai Cawagubnya. Atas pertimbangan apa sampai Djarot Saiful Hidayatitu dicalonkan sebagai Cagubsu kita sendiri tidak mengetahuinya secara persis.  

Tetapi, yang sudah pasti gaungnya DKI akan bergema di Sumut. Lawan politiknya sudah pasti akan menggunakan kasusDKI itu untuk menyerang Djarot -- Sihardan dalam hal ini tidak akan terelakkan lagi praktek-praktek black campaign.

Disamping itu intrik-intrikterhadap masyarakat calon konstituenakan dilancarkan oleh mereka yang tidak menghendaki Djarot -- Siharmenang dalam Pilkada Sumut nanti maupun kandidat lainnya.

Kini saja sudah mulai nampak gejala-gejala untuk melakukan intrik-intriktersebut dengan menggunakan "tangan-tangan besi" sehingga suasananya kembali persis seperti zaman Orde Baru dahulu. "Penggiringan massal" akan terulang kembali seperti dimasa lalu dengan menggunakan cara-cara soft flattery(bujukan lunak) sampai kepada bentuk yang imperatif(paksaan).   

Ada dua faktor yang mempengaruhi mengapa skenarioitu akan dipaksakan pada Pilkada nanti. Faktor pertama, mabuk kekuasaan yang sudah ngebet(merasuk) kedalam otaknya. Faktor kedua, ada partai yang ingin come backberkuasa untuk "menabung" guna menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres yang akan datang.

Dua partai besar lainnya, Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, tidak bergabung kesana karena punya kandidat yang diusungnya sendiri. Dalam Pilkada Gubsu kali ini kedua partai itu hanyalah merepresentasikandirinya sebagai penyeimbang. Pede akan menang mungkin tak ada, kecuali Tuhan berkehendak lain.  

Meskipun Sumatera Utara hanyalah sebuah provinsitetapi nuansa politiknya di Pilkada nanti akan terasa juga gaungnya dalam skalanasionaldan mempunyai jangkauan ke depan yaitu ke Pemilu Legislatif dan Pilpres.

Itulah yang menyebabkan mengapa nafsu untuk berkuasa itu tumbuh sangat kuat di dalam pribadi para kandidat yang memang dari sejak awalnya bibit itu sudah ada pada mereka berdua. Haus kekuasaan, arogan, tinggi sebenang atau mau menang sendiri.

Maka itu semua partai politik dan relawan mereka akan berjuang habis -- habisan untuk memenangkan kandidat yang mereka usung dengan menghalalkan segala macam cara seperti black campaig, agitasi-agitasimurahan, fitnah, hoakssampai kepada money politicsdan merusak atribut-atributkampanye lawan.  

Mereka sudah mempersiapkan juga "preman-preman benjolan" alias tukang pukul yang siap dikerahkan untuk "membantai" rakyat yang tidak memilih kandidat mereka. Kali ini Pilkada Sumut akan diwarnai dengan chaos demokratiesebab, mereka itu tidak siap kalah, pada mereka hanya ada siap menang.   

Mungkin saja isu saraakan mereka bangunkan kembali untuk menggempur para kandidat yang tidak seagama dengan mereka. Bila perlu mereka menginginkan kasusDKI terulang kembali di Sumut ini agar mereka bisa mendatangkan kaum yang seakidah dengan mereka dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan aksi unjuk rasa disini. Itulah impian mereka, impian orang yang haus kekuasaan.

Kalau itu yang terjadi berarti kita sudah mentradisikanunjuk rasa sebagai salah satu bagian dari demokrasiPemilu, Pilkada maupun Pilpres. Mereka menganggap dengan cara seperti itulah baru bisa direbutnya kekuasaan.

Mereka lupa, dengan cara seperti itu, secara dialektika, akan menimbulkan hasil yang lain, produkyang lain dikemudian hari, bahwa akhirnya dari kekuasaan yang seperti itu akan lahirlah apa yang dinamakan kekuasan agama yang otoriteratau religion authority otoriteristic.

Kehidupan beragama di dalam kekuasaan otoriterakan lebih parah lagi daripada di dalam kekuasaan demokratis.Mereka itu lupa dari sejarah masa lalu ketika kekuasaan ditangan raja-raja dan sultan-sultan. Agama dijadikan sebagai bagian dari alat kekuasaan sehingga kesucian agama itu pun hilang.  

Namun, lawan politik Djarot -- Sihar (Djasa)lupa bahwa masyarakat Sumut bukan masyarakat yang bisa dibius begitu saja dengan agitasi-agitasi kasusDKI. Mereka lawan-lawan politik itu lupa bahwa ada hukum dialektikayang selalu terjadi dalam dunia politik.

Dihancurkannya Ahokbersama Djarot pada Pilkada DKI yang lalu itu tidak sampai menimbulkan kebencian masyarakat secara massif.Begitu selesai Pilkada DKI  bertabur ribuan papan bunga memadati kantor Gubernur DKI sampai ke lapangan Monas menunjukkan simpati masyarakat pada Ahok yang didholimi itu.  

Kasus Ahok tersebut mengundang banyak simpatimasyarakat, termasuk pula masyarakat Sumut. Sehingga dengan dicalonkannya Djarotsebagai Cagubsu sudah pasti akan mendapat simpatidari masyarakat Sumut sehingga tidak ada keraguan untuk memilihnya karena Djarot pun termasuk orang yang didholimi.

Jangan beranggapan dengan mendholimi orang lalu, beranggapan akan masuk surga walau dengan dalil jihad. Apakah pernah Anda bertanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tentang kepastian Anda akan masuk surga. Kalau Anda mau masuk surga dengan jalan merusak, membantai dan mendholimi orang banyak, mana ada dalilnya yang seperti itu.   

Apakah si Gatot Pudjo Nugroho, mantan Gubsu periode yang lalu, yang kini meringkuk di tahanan KPK itu, bisa dijamin akan masuk surga. Dia korupsi itu untuk membiayai dirinya pada Pilgubsu lalu, untuk menutupi perbuatannya itu kemudian dia menyuap anggota DPRD Sumut untuk merespon APBD yang telah disusunnya sendiri. 

Disini Gatot telah men-tuhan-kan duit karena menganggap dengan uang dia bisa menang dalam Pilgubsu. Berarti dia tidak percaya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Berarti pula dia telah melakukan perbuatan syirk, menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa dengan duit. Serem, deh !

Orang model Gatot itu tidak bisa dipakai memimpin Sumatera Utara. Masyarakat Sumatera Utara harus berhati-hati dalam memilih pemimpinnya untuk masa yang akan datang. Jangan sampai terjadi "Korupsi Jilid Tiga"di Sumatera Utara ini.

Peringatan itu kita sampaikan bukan hanya kepada masyarakat Sumatera Utara saja tetapi juga kepada para kandidat Cagub dan Cawagub yang akan bertarung nanti pada Pilgubsu tanggal 27 Juni 2018 yang akan datang.       

Kini saja simpati itu sudah mulai diperlihatkan masyarakat Sumut dengan berbagai macam cara. Ada yang meminta foto bersama (selfie) dengan Djarot, ada pula yang mengundang ke pesta perkawinan, ada lagi yang meminta hadir dalam satu pertemuan resmi seperti halnya dengan seminar atau diskusi-diskusi.

Pendek kata, banyak kegiatan-kegiatan yang harus dilayani Djarot sehingga "jam terbang"-nya dari hari ke hari bertambah terus. Namun, perlu diperingatkan juga kepada Djarot bahwa simpati masyarakat Sumut kepadanya itu belum tentu bisa menjadi satu jaminan bahwa dia akan terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara pada masa yang akan datang.

Ingatlah !  Bahwa Djarot bukanlah apa-apa tanpa masyarakat Sumatera Utara. Artinya masyarakat Sumatera Utara sudah lama menghendaki perubahan besar yang monumental mengingat selama ini Provinsi Sumatera Utara hanyalah menjadi sapi perahan belaka. Sudah banyak Gubernur yang memimpin Sumatera Utara tetapi selama ini banyak yang ngelantur daripada yang jujur.*** 

Contoh kampanye hitam :

whatsapp-image-2018-02-07-at-09-24-24-5a7a9e30caf7db75771eb353.jpg
whatsapp-image-2018-02-07-at-09-24-24-5a7a9e30caf7db75771eb353.jpg
  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun