Orang luar negeri saja mencari tetapi orang kita sendiri tak pernah bermimpi untuk memilikinya. Itu tandanya budaya literasi kita masih rendah sekali. Kalau ada saja penerbit yang mau mencetak ulang buku "Dibawah Bendera Revolusi" itu maka kita akan memasuki zaman masnya" dunia literasi kita karena telah "menyimpan" buku-buku lama berdampingan dengan buku-buku baru sekarang ini.
Sebenarnya kekayaan literasi kita pada masa lalu cukup banyak tetapi, sekarang ini hanya namanya saja yang dikenal orang karena bukunya entah dimana. Bagi generasi sekarang ini, apakah sudah pernah membaca buku HOS Cokroaminoto, pendiri "Sarekat Islam", yang berjudul "Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme" yang terbit ditahun 1920-an.
Buku HOS Cokroaminoto itulah yang menjadi sumber inspirasi Soekarno sewaktu beliau menggagas NASAKOM (Nasionalisme-Agama-Komunisme) di tahun 1960-an dahulu. Tetapi, dasarnya Soeharto alergi pada semua yang berasal dari Orla (Orde Lama) maka hampir semua buku yang datang dari zaman itu dilarang terbit lagi. Pembacanya saja bisa dianggap komunis.
Sampai-sampai yang tidak ada hubungannya dengan komunis juga ikut dilarang menerbitkannya kembali seperti tulisan Dr. Sun Yat Sen berjudul "San Min Chu I" atau "The Three People's Principles", yang dahulu buku ini sudah pernah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, buku itu terbit jauh sebelum ada komunis di Tiongkok tetapi, juga masuk dalam nominasidilarang cetak ulang.
Apalagi buku yang bernama "Naga Merah"Â buah karya Jack Belden, seorang wartawan Amerika Serikat, yang terus meliput long march-nya Tentara Komunis Tiongkok selama masa revolusimelawan Jepang dan Tentara Tiongkok Nasionalis di daratan China. Sudah pasti buku yang seperti ini tidak boleh terbit lagi.
Bagaimana pula dengan buku "Madilog" Tan Malaka, buku yang mengupas soal "Materialisme-Dialektika-Logika", yang memang selama ini buku itu sudah lama tenggelam, tak pernah terbit-terbit lagi. Banyak dikalangan intelektualmuda kita yang menanyakan kepada saya tentang buku itu tetapi apa yang saya mau jawab, buku itu sendiri tidak ada lagi beredar di dunia perpustakaan kita.
Buku-buku Dr. Ruslan Abdulgani, terutama tentang "Sosialisme Indonesia", buat saat ini buku tersebut sulit untuk didapatkan walaupun kita cari ke toko buku loak. Masih ada lagi tulisan-tulisan Dr. Ruslan Abdulganiyang lain tetapi nasibnya sama saja dengan judul buku terdahulu.
Pernahkah Anda membaca suatu risalahyang menggemparkan yang ditulis oleh Soewardi Soeryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, pendiri "Taman Siswa", yang berjudul (dalam bahasa Belanda) "Als ik Nederlander was" yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia "Andai kata aku seorang Belanda".
Gara-gara risalah itu tiga orang tokoh pendiri Indische Partijditangkap Belanda pada tahun 1912 yaitu Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Eduard Douwes Dekker, dan Soewardi Soeryaningrat sendiri, dan akhirnya mereka bertiga dibuang ke Negeri Belanda selama hampir lima tahun lamanya. Â
Tulisan Soewardi itu berupa sindiran tajam kepada Belanda yang pada saat itu akan merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang pernah dijajah Spanyol selama 100 tahun lamanya. Belanda akan merayakan kemerdekaannya dengan dana dari orang-orang pribumi Indonesia.
Seakan-akan rakyat Indonesia itu tidak dijajah Belanda pada waktu Belanda akan merayakan kemerdekaannya itu. Disitulah datangnya emosi Soewardi dengan tidak adanya kesadaran Belanda bahwa rakyat Indonesia sedang dijajah Belanda berabad-abad lamanya. Sementara Belanda merayakan hari kemerdekaannya.