Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan Meteor "Kafir-Mengkafirkan"

6 Desember 2017   21:59 Diperbarui: 7 Desember 2017   09:20 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (jalandamai.org)

Saya ini seorang Muslim tetapi belum lagi 24 karat, ukurannya baru sebatas anggota jemaah mesjid saja. Itu pun baru sebatas sholat berjemaah saja. Dengan maqom saya seperti itu jelaslah saya ini bukan seorang Ulama, bukan pula Kiyai, dan bukan juga seorang Ustadz.

Kalau saya melakukan kekeliruan dalam beragama wajarlah sebab, saya adalah seorang Muslim yang awam. Namun, takaran iman saya hanyalah Tuhan dan saya yang tahu. Untuk iman inipun saya tak pernah pamer sehingga Muslim lainnya banyak yang merisaukan ke-Islam-an saya.

Menurut saya, yang masih dangkal pengetahuan agamanya, dalam beragama ini tak perlu pamer-pamer, yang penting kerjakan apa yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang.

Mungkin karena sifat dan sikap saya yang seperti itu saya pernah "dikafirkan"oleh seorang hamba Allah, yang kebetulan dia itu memakai jubah putih dan berserban putih pula tetapi, yang jelas dia bukan seorang Kiyai, bukan pula seorang ulama, dan tidak pula seorang Ustadz.

Hanya soal sepele saya diberi stempel "kafir". Saya hanya tersenyum saja, tidak membalas tudingannya tadi karena saya sadar, soal iman seseorang siapa yang tahu. Itu urusan yang Maha Kuasa.

Dilain waktu saya melihat suatu adeganperang mulut antara "omak-omak", antara "nduk bareh" (ibu-ibu dalam bhs. Minang), antara "inang-inang" (omak-omak dalam bhs. Batak), "indung-indung" (ibu-ibu dalam bhs. Sunda). Dalam perang mulut itu keluarlah kata-kata sadisyang tak pernah ada dalam Kamus Tata Krama.

Tak sampai disitu saja lalu, dilanjutkan pula dengan adegan yang lebih seru lagi, nonggeng-nonggeng pantat. Lalu, datanglah klimaksnya sampai keluar kata-kata "kafir mengkafirkan". Sementara, yang mengkafirkan itu sendiri tak pernah sholat. Yah, begitulah kalau tak pernah ada "uji petik" kata-kata. 

Hewan-hewan pada protes, "kalian yang berantam, kok, nama kami dibawa-bawa." Memang aku ini Babi, tetapi dimakan orang, kecuali orang Islam. Aku ini Anjing, tetapi aku selalu dijadikan penjaga rumah, anjing pemburu dan anjing pelacak.

Memang aku ini Monyet, tetapi temanku Beruk di Padang Pariaman selalu disuruh memanjat batang kelapa memetik buah kelapa. Kalau tak ada temanku itu tak mungkin kalian bisa menyayur, menggulai, merendang.    

Mendengarkan hal itu saya terhenyak sejenak, apakah yang begini yang diajarkan Islam itu. Seakan pelepasan kata-kata "kafir" itu sebagai pelampiasan kebencian seseorang kepada orang lain karena dianggap tak ada lagi yang maksimal selain kata itu sendiri.  

Dua acuan diatas tadi rasanya sudah cukup untuk dijadikan referensimembuka perdebatan panjang dalam seminar "Dunia metafisik  "kafir mengkafirkan"  itu. Tetapi, di dalam konteksini ada baiknya kita buat "topiknya" lebih dahulu.

Mengingat "kafir mengkafirkan" itu sesuatu yang maha dahsyat bahkan, lebih dahsyat lagi dari letusan Gunung Krakatau1883, maka sebaiknya "topiknya" itu "Hujan Meteor Kafir Mengkafirkan".

Ilustrasi (islamoderat.com)
Ilustrasi (islamoderat.com)
Kok, tidak hujan air saja, kok, yang dipinjam "hujan meteor". Pakai memakai istilah, kan, tak perlu minta izin jadi, suka-suka hati penulislah mau istilah mana yang dipakainya. Itu saja, kok, jadi masalah.

Tentu saja ada sebabnya mengapa dipakai istilah "hujan meteor" itu. Meteor itu benda angkasa dan kalau jatuh ke Bumi runyam juga dibuatnya. Korban sudah pasti ada, kelepek-kelepek mati.

Ibarat itulah dunia "kafir mengkafirkan" itu sekarang ini, yang boleh dikategorikan sebagai polutan beracunyang mematikan. Kalau polutan"kafir mengkafirkan" itu dibiarkan terus merajalela lama-lama seluruh rakyat Indonesia menjadi "kafir". Kalau sudah begitu kemana lagi minta suaka? Negara manapun tak akan mau menerima "orang kafir"menjadi warga negaranya, takut kena "kutukan".

Bertahan ? Oke, saja! Maka Indonesia menjadi negara "kafir" pertama di dunia dengan nama baru "Republik Rakyat Kafir Indonesia"yang mulai dari Kepala Negaranya sampai ke seluruh rakyatnya memakai KTP semuanya dimana disitu tertulis "Agama : Kafir Indonesia".

Dunia salut pada kita tetapi juga banyak pula yang tertawa karena "Republik Rakyat Kafir Indonesia"  tadi nggak bisa jadi anggota PBB sebab, republik yang demikian tidak ada di dalam nomenklatur negara-negara.

Yang parahnya lagi Saudi Arabia pasti melarang rakyat kafir Indonesia pergi Haji ke Mekkah. Tak boleh naik Haji, yang boleh naik onta. "Kurma" pun tak bisa lagi diimpor dan akhirnya terpaksalah diganti dengan kurma lain, "kurang makan". Dikampung saya "kurma" itu artinya "kurang makan".  

Yang sedihnya "tukang sunat", sepi langganan. "Tukang jagal" ramai pesanan. Biasanya lembu, kerbau, kambing yang dipotong kini bertambah dengan gajah, harimau, beruang, badak, buaya, dan sebagainya. Untuk pertama kali di dunia, hutan pun sepi dari hewan-hewan sehingga ekosistempun bubar.

Nah, kalau sudah begitu, sakit 'nggak ?  Maka itu jangan suka mengkafir-kafirkan orang kalau tak mau Negara kita mendapat bencana "kelaparan meteorit". Bukan itu maksudnya, maksud saya "meteorit kelaparan".           

Para sufimengatakan, "kata-kata itu adalah do'a !" Kalau kita mengatakan "kafir" pada seseorang maka ucapan itu menjadi semacam do'a. Sangat berbahaya sekali kalau sempat dikabulkan Tuhan.

Kalau sudah menggampangkan kata "kafir" tadi dalam menuding orang maupun memaki orang lain lama-lama Tuhan menakdirkan orang itu benar-benar menjadi "kafir", termasuk juga orang yang menuding atau yang memaki tadi.

Mengapa bisa begitu ?  Untuk mengkafirkan seseorang, itu adalah haknya Tuhan Yang Maha Esa, bukan haknya manusia. Didalam soal ini manusia tidak berhak mengkafir-kafirkan orang lain.  

Maka itu jangan mencoba mengkafirkan seseorang, perbuatan itu sama saja "merampas" hak Tuhan. Itulah sebabnya mengapa orang yang mengkafirkan itu bisa juga menjadi kafir. 

Nabi Muhammad saw sendiri pernah meminta kepada Allah swt agar mau memberi hidayahkepada pamannya Abu Lahab dan Abu Djahal, supaya kedua pamannya itu mau menerima Islam.

Kontan permintaan Nabi ditolak oleh Allah swt karena hatiAbu Lahab dan Abu Djahal sudah dikunci oleh Allah swt sehingga tidak bisa lagi menerima hidayah dari pada-Nya. Mengapa bisa begitu ? Karena Abu Lahab dan Abu Djahal sudah dicap kafir oleh Allah swt.

Jadi, dari kejadian itu kita bisa mengambil ibrah bahwa orang yang kafir itu adalah orang yang sudah ditutup rapat hatinya, dikunci hatinya, sehingga tidak bisa lagi menerima hidayah dari Allah swt.

Sementara, banyak dikalangan kita sendiri seenak perutnya mengatakan "kafir" kepada seseorang, justeru perkataan itu datang dari orang yang tahu agama. Itu namanya "menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri". Orang yang dikatakan "kafir" itu sendiri selalu mendapat hidayahdari Tuhan karena kasusnya banyak.   

Hidayah itu bisa saja datang pada seseorang sesuai dengan kasus atau masalah yang dihadapinya. Tetapi besar kecilnya hidayahitu tergantung pada imanorang itu sendiri. Iman yang tangguh besar pula hidayahyang diterimanya dan iman yang tipis kecil pula hidayah diberikan padanya.

Tuhan sangat tahu bahwa rakyat Indonesia menyimpan segudang masalah, timpa bertimpa satu sama lain. Mbok iya, kita semua hendaknya berdo'a meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar segera selesai masalah-masalah yang dihadapi rakyat Indonesia, yang mayoritas Muslim itu.

Banyaknya masalah itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti sistem pemerintahan yang sekarang ini dengan bentuk yang lain. Yang demikian itu bukan jawaban melainkan akan menambah panjang persoalan.

Saya sangat tahu kemana arah yang diinginkan sebagian daripada umat Islam saat ini. Mereka menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam dengan mengambil sistem pemerintahan Daulah Khilafah masa lalu sebagai acuannya.

Terlepas dari persoalan, apakah sistemitu sudah verouderd(bhs. Belanda, yang artinya usang) atau masih up to dateatau masih O.K., cuma satu hal yang akan menjadi obsesi bagi saya. Apakah nanti dengan sistem pemerintahan "Daulah Khilafah"yang baru itu wilayahnya bisa meliputi Indonesia yang sekarang ini.

Saya terobsesi dengan masalah wilayah itu karena nanti akan terkait dengan hal yang amat fundamentalyang tidak bisa dielakkan oleh siapapun juga kini maupun nanti. Kekhawatiran saya ada disitu.

Saya khawatir dengan didirikannya Negara Islam tersebut Indonesia akan terpecah belah berkeping-keping menjadi beberapa negara-negara kecil.Itu sudah pasti, tak mungkin terelakkan lagi.  

Akan berdirilah nantinya beberapa negara-negara agama. Umat Kristen pasti akan mendirikan Negara Kristen di beberapa daerah. Ada Negara Kristen Minahasa, ada Negara Kristen Maluku, ada Negara Kristen Papua, ada pula Negara Kristen Nias, dan ada juga Negara Kristen Batak Tapanuli.

Umat Katholik juga akan mendirikan negaranya di NTT dan mungkin bergabung dengan Timor Leste. Mungkin untuk pertama kali di dunia muncullah Negara Hindu di Bali. Sementara, bagaimana dengan Negara Islam yang didirikan itu ?

Di luar wilayah negara-negara yang disebutkan tadi itulah wilayah Negara Islam tersebut. Tetapi, tunggu dulu !  Belum tentu semua daerah mau bergabung dengan Daulah Khilafah Negara Islam yang baru didirikan itu.

Kalau hanya sekedar Daulah Khilafah saja, Aceh pun sanggup mendirikan negara semacam itu. Akhirnya Aceh memisahkan diri mendirikan Negara Islam tersendiri. Sumatera Barat tentu akan mengikuti jejak Aceh dan menyusul pula Banten.

Sulawesi Selatan sudah pasti berambisi membangun Negara Islam yang baru terpisah dari Negara Islam Daulah Khilafah yang didirikan itu. InisiatifSulawesi Selatan itu akan diikuti pula oleh Lombok/NTB dan Kalimantan Selatan.

Pendek kata dalam mendirikan negara baru banyak daerah yang berambisidan yang demikian ini tidak sampai dipikirkan oleh Negara Islam yang baru itu. Jadi, apa yang diimpikan selama ini tidak akan menjadi kenyataan.

Lalu, ngotot dan menuding negara-negara lain itu kafir, maulah terjadi baku hantam, perang antar negara. Bukan itu saja, pihak Luar Negeri pun melihatnya menjadi cemas karena bisa menjurus kearah "Perang Saudara".

Lalu, lembaga-lembaga keuangan internasional sudah pasti bertanya, bagaimana dengan hutang Indonesia dahulu yang jumlahnya sampai Rp. 4.000 trilyun itu. Siapa yang bertanggung jawab untuk melunasinya.

Kalau orang yang palak pastilah jawabnya, itu kan hutang Indonesia bukan hutang kami. Oh, 'nggak bisa begitu, siapa yang menyuruh kalian terpecah belah seperti sekarang ini. Kalian semua negara-negara baru yang harus menanggungnya.

Karena tak sanggup membayar hutang Indonesia sebanyak itu akhirnya semua negara baru itu dikenakan sanksi internasional yaitu embargo. Mustahil negara-negara Timur Tengah mau membantu. Buat apa membesarkan anak harimau, kata mereka pula. Bisa saja ISIS come backdari sini.  

Menurut saya, terpecah belahnya Indonesia menjadi negara-negara agama, itu merupakan suatu penjajahan barukarena tidak ada yang murni dibalik mendirikan negara-negara agama tersebut.

Maka itu sebelum berbuat cobalah sembahyang istikharah lebih dahulu, minta kepada Tuhan, apakah yang dibuat ini baik untuk rakyat dan agama, atau tidak.***

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun