Masih banyak lagi contoh lainnya yang semuanya itu bisa dikategorikansebagai Sastera Literasipada masa lalu. Tetapi, kini karena zaman sudah berubah tentu saja warna Sastera Literasiitu tidak lagi sama dengan masa lalu. Untuk masa kini pasti ada warna lain bagi Sastera Literasiyang lebih modern.
Mungkin indikasiyang diberikan di sini tidak sepenuhnya benar. Kita merasakan bahwa masa kini masalah kemanusiaanitu sudah mendunia. Tidak hanya terdapat di negara kita saja tetapi ada di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Jadi, sudah waktunya kita mengadopsimasalah kemanusiaanitu untuk mewarnai Sastera Literasikita yang modernitu.
Namun, perlu dipahami juga bahwa masalah kemanusiaanitu haruslah antagonisdengan individualismeyang kini sepertinya tengah berjangkit dikalangan manusia dimana-mana yang diakibatkan oleh kemajuan sciencedan teknologi.
Dua aspekitu telah mengantarkan manusia kepada derajat "homo homini lupus", manusia menjadi "serigala" bagi manusia lainnya. Sepertinya tak ada lagi batas manusia itu dalam berbuat, sepertinya semuanya sudah lepas kendali.
Manusia "beraja" dihatinya sendiri, tak sempat lagi melakukan introspeksi.Kalau dalam skala kecilsudah begitu konon lagi dalam skala besar.Banyak masalah kemanusiaansekarang ini belum terungkap secara virtual.Mungkin dalam skala besarbarulah terlihat transparansekali.
Genosidayang terjadi di Rwanda beberapa tahun yang lalu dan kini terjadi pula di Miyanmar dimana suku Muslim Rohingya diusir dan dibunuh karena perbedaan ras dan kepercayaan saja yang menjadi penyebabnya. Dahulu pun pernah terjadi juga genosidaitu di Tanah Air kita sewaktu Peristiwa 1965 terjadi. Â
Kita ingin menggugah masalah itu dan rasanya akan lebih sensitiflagi kalau hal itu diungkap dalam Sastera Literasikita. Akankah terjadi kajian-kajian mendalam pada segmen-segmenberikutnya, itu sudah pasti kalau formatny amasalah kemanusiaanyang pada saat ini banyak ragam dilematisnya.
Ketidak-adilan, kecemburuan sosial, ranjau-ranjau yang melenyapkan inisiatifdan harapan, dan lain sebagainya, semuanya berkumpul dalam masalah kemanusiaansehingga masalah-masalah yang sensitifitu selalu tak terpantau dalam sastera kita karena para prosaiskita dan penyairkita tanpa disadari tidak punya andildi dalam fitur-fitur kemanusiaantadi.
"Tongkat membawa rebah", kata pepatah, begitulah kita saat ini. Kita sendiri yang meruntuhkan "gedung sastera"kita karena terlalu menurutkan hawa nafsu pribadi yang berlebih-lebihan. Kita sendiri yang mempertajam sastera-sastera cengengyang mencerai-beraikan manusia-manusia Indonesia dari kepribadiannya.
Sudah cukup rasanya kita membiarkan keadaan itu bertahun-tahun lamanya dan kini kita harus membangun kembali sastera kita sendiri membawa naluri-naluri kemanusiaanberada di dalamnya. Jika tidak demikian, kita sendiri sebagai suatu bangsa akan kehilangan kepribadiannya.
Sastera bukanlah kehidupan yang kering, ingatlah itu ! Â Terima kasih atas segala perhatian dan kritik sarannya.***