Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mampukah Sastra Literasi Kita Mendunia ?

1 Desember 2017   16:57 Diperbarui: 2 Desember 2017   14:10 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber; seruni.id)

Dalam tulisan saya terdahulu berjudul "Mengenang Kembali Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Medan" di situ ada disinggung tentang "Sastera Literasi".Pertanyaannya sekarang, apakah Sastera Literasiitu sudah ada sekarang ini atau baru sekedar wacana saja. 

Kecenderungan dari pertanyaan di atas hanya pada frasayang terakhir.  Kalau baru sebatas wacana, mengapa harus pula dibahas kemampuannya mendunia. Lalu, sekarang ini tipesastera apa yang sedang berkembang di Indonesia (?).  

Sastera Literasiitu bukanlah sastera yang sudah punya formatdan banyak berisi karya-karya tulisnya, baik prosamaupun puisi.Akan tetapi dari Sastera Literasiyang bernuansakan wacana itu masih dapat menjadi kiblatuntuk membangun dunia sastera yang sebenarnya asalkan ada kemauan untuk ke situ.

Apakah perkembangan sastera yang ada sekarang ini tidak bisa didorong kepada Sastera Literasi, suatu pertanyaan yang sebenarnya tidak sulit untuk dijawab jika kita mau secara jujur menempatkan argumen-argumennya secara tepat.    

Kalau sebatas kuantitaskita akui sekarang ini jumlah karya-karya tulis sastera sudah banyak sekali tetapi rata-rata semuanya tidak jauh dari "Sastera Populer". Dari Sastera Populeritu nanti masih dapat diketahui makna, apa yang dimaksud dengan Sastera Literasidan apa bedanya dari Sastera Populer. 

Sastera Populerselalu mewakili individu, belum lagi mewakili komunalmasyarakat. Mungkin hal ini disebabkan ditengah kehidupan masyarakat tidak lagi dijumpai eksploitasimanusia oleh manusia sebagaimana yang digambarkan sastera dahulu sehingga di dalam roman-roman mereka nampak benang merahnya tentang peri keadilan.  

Tetapi, sekarang ini lukisan sastera seperti itu tidak nampak lagi di dalam dunia sastera kita sekarang ini, sudah berganti dengan lukisan sastera populer yang lebih banyak meramu cerita-cerita yang dangkal rasa kemanusiaannya.Itu terbanyak di roman-roman yang dihasilkan.

Di bidang puisikita melihat sajak-sajak "cengeng" yang mengekspresikangelora cinta asmara ketimbang gelora kemanusiaan. Puluhan tahun belakangan ini dunia sastera kita seperti itu. Maka saya mengatakan sastera kita sekarang ini adalah sastera romantika, bukan sastera perjuangan.

Kalau modelsastera kita seperti itu bagaimana akan bisa mendunia, bagaimana kita akan bisa mendapat "Hadiah Nobel" di bidang sastera. Hasil-hasil karya sastera yang bisa mendapat "Hadiah Nobel" tersebut hanyalah karya sastera yang bisa memberikan kepada dunia suatu gambaran perjuangankemanusiaan.

Sepertinya sastera kita tak ada animomengejar prediket sastera dunia. Rasanya kita sudah merasa puas dengan apa yang sudah kita hasilkan sekarang ini walau itu hanya sebatas sastera lokal. Maka Sastera Populeritu identik sastera lokal.

Kita sudah merasa puas kalau karya sastera kita itu sudah tampil di media-media cetakmisalnya. Kita sudah merasa bangga kalau karya sastera kita itu dikomentarioleh "tokoh-tokoh sastera" yang belum punya nama itu.

Saya bukan seorang sasterawan karena tak pernah mengomentarihasil karya sastera manapun tetapi kepedulian saya pada sastera, itulah yang akhirnya saya mengambil satu kesimpulan bahwa sastera kita saat ini "jalan ditempat".  

Silahkan kalau ada yang mengkritisiatas kesimpulan saya tadi tetapi saya yakin akan banyak sekali yang sependapat dengan saya. Yang sependapat dengan saya berarti dia menghendaki "kebangkitan"dunia sastera kita yang baru.

Atau mungkin orang sudah tidak berminat lagi pada dunia sastera karena telah didera oleh kemajuan teknologiyang menyibukkan setiap insan dengan modifikasiperalatan teknologi yang setiap tahunnya selalu berganti modeitu.

Atau boleh jadi pula "keresahan hidup" sebagai produk sampingdari pembangunan sekarang ini telah banyak menyita waktu sehingga untuk masalah-masalah "non kehidupan" dianggap tidak produktif.

Memang, banyak faktoryang mengganjal untuk membangun dunia sastera kita yang lebih prestisius.Dengan kondisiseperti itu bagaimana kita akan membangun sastera duniaseperti yang kita idam-idamkan itu.

Lalu, pertanyaannya sekarang ini, apakah perlu kita membangun sastera duniaitu sepertinya kita ini terlalu ambisiusuntuk "proyek sastera"tersebut? Apakah kita sudah lupa bahwa sateraitu adalah bagian dari peri kehidupankita, adalah bagian dari peradabankita.

Entahlah, kalau kita memang mau disebut bangsa yang tak beradab, maka tak perlu lagi dengan sastera tersebut. Kalau sudah begitu ganti saja peri kehidupan kita itu dengan premanisme, narkobaisme, korupsisme, radikalisme, brutalisme. Kan, yang begitu lebih baik ketimbang memikirkan soal sastera.

Anda lupa, sastera itu dapat memperhalus pekerti kita karena sudah menyangkut dengan hati nurani.Sastera juga dapat mengikis penyakit-penyakit yang ada dikalangan masyarakat seperti yang disebutkan tadi. Kenapa tidak ke sana cara berpikir kita, kenapa kita terlalu "beku" terhadap suatu kemajuan bangsa yang dibangun lewat dunia sastera.

Sastera ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsa, itu sudah pasti. Ingat dahulu bagaimana "Angkatan Pujangga Baru"yang mengisi peri kehidupan dari masyarakat kita yang hidup di masa penjajahan Belanda dahulu.

Begitu pula bagaimana "Angkatan Pujangga 45"yang mengisi peri kehidupan kita sewaktu berjuang melawan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Sesudah itu masih terasa lagi perkembangan sastera berikutnya walau kita tidak tahu apa nama angkatannya.

Setelah Orde Baru sampai kini kekosongan sasteraitu terasa sekali walau dunia sastera kita tak pernah sepi dari prosadan puisi.Memang, masih ada juga yang bermutu tetapi rata-rata hampir semuanya dikategorikan Sastera Populer.

Penilaian itu bukan dari dunia sasteranya tetapi bila disorot dari peri kehidupan yang manusiawipada masa itu maka di sana kita tidak menjumpai makna sasterayang humanistis.

Sastera Populersasarannya hanyalah mencari duit semata. Maka lahirlah segala macam roman picisanyang mengumbar hawa nafsu semata seakan Indonesia itu di dominasioleh manusia-manusia seksualbelaka. Tak ada lagi manusia-manusia yang bermoral.

Roman-roman pornografimemenuhi angkasa kehidupan manusia Indonesia saat ini sampai anak-anak kecil pun telah terbiasa mengkonsumsi pornografitersebut. Kerusakan moralini merupakan suatu kemunduran buat bangsa kita ditambah pula beragam kekejaman yang dilakukan oknum-oknumyang tidak bertanggungjawab.

Akankah kita biarkan semua itu berlalu terus sampai batas yang tak terukur lagi berapa lama durasinyadan berapa panjang masa periodenya? Saya pulangkan saja semua persoalan itu kepada para pembaca yang budiman.

Untuk membangun kembali Sastera Literasimenuju sastera duniayang moderndi Tanah Air kita ini sangatlah diperlukan sekali kesadarandari kita semua karena dengan sasteraitu kita ingin membangun suatu peradaban baru bangsa yang berdedikasidan bermoraltinggi.

Kesana butuh suatu perjuangan yang mungkin rentang waktu yang ditempuh cukup lama dan dalam sepanjang perjalanan diperlukan revisiyang tidak sedikit sampai kita menemukan formatyang pas.

Sastera Literasiitu tidak mengenal "sastera untuk sastera" karena dalam Sastera Literasiini dipersiapkan sebagai referensiyang dapat menjadi rujukandalam rangka membangun peradaban. Dalam hal Sastera Populeryang demikian itu tak mungkin di dapat.

Salah satu dari Pujangga Baru yaitu seorang Pujangga yang cukup terkenal bernama Amir Hamzah sering kali puisi-puisinyadijadikan rujukan oleh banyak orang. Salah satu diantaranya sajak "Padamu Jua"kerap kali di sitiroleh para rohaniawan dari berbagai agama.

Begitu pula dengan salah seorang Pujangga Angkatan 45 yang bernama Chairil Anwar, sajak-sajaknya banyak dijadikan referensiketika mengupas Perjuangan Tahun 1945. Sajaknya yang berjudul "Aku"acap kali dijadikan rujukan.

Jika orang menentang "kawin paksa" orang selalu mengatakan bahwa kini bukan lagi zaman "Siti Nurbaya", suatu roman sastera karya Marah Rusliseorang tokoh sastera dari Angkatan Pujangga Baru.

Tidak sampai pula ketinggalan sebuah karya besar Abdul Muisyang berjudul "Salah Asuhan"selalu saja dijadikan rujukan dalam mendidik anak agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan alakebarat-baratan yang banyak menjebak para pemuda kita di masa dahulu maupun kini.

Masih banyak lagi contoh lainnya yang semuanya itu bisa dikategorikansebagai Sastera Literasipada masa lalu. Tetapi, kini karena zaman sudah berubah tentu saja warna Sastera Literasiitu tidak lagi sama dengan masa lalu. Untuk masa kini pasti ada warna lain bagi Sastera Literasiyang lebih modern.

Mungkin indikasiyang diberikan di sini tidak sepenuhnya benar. Kita merasakan bahwa masa kini masalah kemanusiaanitu sudah mendunia. Tidak hanya terdapat di negara kita saja tetapi ada di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Jadi, sudah waktunya kita mengadopsimasalah kemanusiaanitu untuk mewarnai Sastera Literasikita yang modernitu.

Namun, perlu dipahami juga bahwa masalah kemanusiaanitu haruslah antagonisdengan individualismeyang kini sepertinya tengah berjangkit dikalangan manusia dimana-mana yang diakibatkan oleh kemajuan sciencedan teknologi.

Dua aspekitu telah mengantarkan manusia kepada derajat "homo homini lupus", manusia menjadi "serigala" bagi manusia lainnya. Sepertinya tak ada lagi batas manusia itu dalam berbuat, sepertinya semuanya sudah lepas kendali.

Manusia "beraja" dihatinya sendiri, tak sempat lagi melakukan introspeksi.Kalau dalam skala kecilsudah begitu konon lagi dalam skala besar.Banyak masalah kemanusiaansekarang ini belum terungkap secara virtual.Mungkin dalam skala besarbarulah terlihat transparansekali.

Genosidayang terjadi di Rwanda beberapa tahun yang lalu dan kini terjadi pula di Miyanmar dimana suku Muslim Rohingya diusir dan dibunuh karena perbedaan ras dan kepercayaan saja yang menjadi penyebabnya. Dahulu pun pernah terjadi juga genosidaitu di Tanah Air kita sewaktu Peristiwa 1965 terjadi.  

Kita ingin menggugah masalah itu dan rasanya akan lebih sensitiflagi kalau hal itu diungkap dalam Sastera Literasikita. Akankah terjadi kajian-kajian mendalam pada segmen-segmenberikutnya, itu sudah pasti kalau formatny amasalah kemanusiaanyang pada saat ini banyak ragam dilematisnya.

Ketidak-adilan, kecemburuan sosial, ranjau-ranjau yang melenyapkan inisiatifdan harapan, dan lain sebagainya, semuanya berkumpul dalam masalah kemanusiaansehingga masalah-masalah yang sensitifitu selalu tak terpantau dalam sastera kita karena para prosaiskita dan penyairkita tanpa disadari tidak punya andildi dalam fitur-fitur kemanusiaantadi.

"Tongkat membawa rebah", kata pepatah, begitulah kita saat ini. Kita sendiri yang meruntuhkan "gedung sastera"kita karena terlalu menurutkan hawa nafsu pribadi yang berlebih-lebihan. Kita sendiri yang mempertajam sastera-sastera cengengyang mencerai-beraikan manusia-manusia Indonesia dari kepribadiannya.

Sudah cukup rasanya kita membiarkan keadaan itu bertahun-tahun lamanya dan kini kita harus membangun kembali sastera kita sendiri membawa naluri-naluri kemanusiaanberada di dalamnya. Jika tidak demikian, kita sendiri sebagai suatu bangsa akan kehilangan kepribadiannya.

Sastera bukanlah kehidupan yang kering, ingatlah itu !  Terima kasih atas segala perhatian dan kritik sarannya.***

Wassalam.                

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun