Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan [Bagian Ketiga-Tamat]

30 November 2017   00:21 Diperbarui: 1 Desember 2017   22:18 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tepian mandi di Sei Bilah dekat Kampung Sunut. (dok. pribadi)

Selama di Aek Pisang itu perasaan kami cukup tenang. Mungkin dikarenakan apa yang selama ini merisaukan hati sudah terlewati ditambah pula dengan suasana di kampung itu yang begitu tenang dengan panorama alamnya yang begitu indah, semuanya itu mendukung sekali selama beristirahat di kampung itu.  

Kampung Aek Pisang, yang lama sudah tidak ada lagi (dok. pribadi)
Kampung Aek Pisang, yang lama sudah tidak ada lagi (dok. pribadi)
Kerjaan saya bersama adik-adik saya setiap hari bermain-main saja. Terkadang kakak-kakak saya ikut juga bergabung. Tetapi, sekali-sekali saya ikut bergabung dengan warga kampung berburu burung puyuh yang di kampung itu banyak pula berkeliaran di ladang-ladang yang ada disekitar kampung.

Berburu burung puyuh itu cukup dengan menggunakan jeratan, tidak memakai panah atau katapel. Di dekat jeratan tadi ditambatkan pula seekor burung puyuh lain untuk memancing burung puyuh yang mau diburu. Sehari terkadang kita bisa mendapatkan dua-tiga ekor, lumayan untuk digulai atau dipanggang.

Menggoreng ikan dan daging hampir tak pernah dilakukan karena minyak makan tidak ada di sana. Mendapatkan minyak makan haruslah buat sendiri dari kelapa.

Meninggalkan Kampung Aek Pisang.

Setelah cukup umur tiga bulan adik saya barulah kami meninggalkan Kampung Aek Pisang tersebut dan rencana akan kembali ke Kampung Sunut. Pastilah sudah dalam perjalanan akan melewati lagi Gunung Siatubang itu tetapi kali ini tidak lagi mendaki melainkan menurun.

Meskipun menurun tetap saja kita harus hati-hati karena dengan jalan menurun itu biasanya mudah terpeleset. Kalau terpeleset di tempat masih mendingan tetapi kalau sempat meluncur sampai ke tepi jurang risikonya fatal. 

Ibu saya yang lagi menggendong bayi itu terpaksa dituntun juga jalannya jangan sampai dia jatuh terpeleset. Dengan jalan menurun itu waktu tempuh menjadi lebih singkat lagi dibandingkan waktu mendaki.

Setelah sampai di Kampung Gunting Bange kami sudah merasa lega dan setelah melepaskan lelah sebentar, perjalanan dilanjutkan lagi ke Kampung Sipahonek yang jaraknya tidak terlalu jauh. Akan tetapi di kampung ini terpaksa bermalam sebab, hari sudah senja.

Sepanjang perjalanan dari Aek Pisang ke Sipahonek boleh dikatakan si bayi itu menyusu hanya beberapa kali saja. Kebanyakan dia tidur dalam gendongan ibu saya, sekali-sekali digendong oleh kakak saya. Tuahnya perjalanan, begitulah !

Keesokan harinya diambil keputusan menuju Kampung Siarop, yang juga tidak jauh dari situ karena didapat kabar rumah yang ada di Kampung Sunut tempat kami tinggal dahulu sudah dihuni kembali oleh yang empunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun