Sebenarnya Kampung Sipahonek dan Kampung Siarop itu berada di tepi Sei. Bilah juga dan ke dua kampung itu berseberangan dengan Kampung Sunut. Tiga kampung ini berdekatan letaknya jadi, masih mudah dicapai dalam waktu singkat.Â
Rumah tempat yang kami tunggui itu cukup menyeramkan juga karena di tempat itu terdapat jalur pelintasan harimau, terlebih di malam hari. Asal sudah masuk waktu senja kami semua harus berada di dalam rumah, tidak boleh lagi main-main di luar.
Di rumah itu Mang Saliman, orang kita Jawa yang menetap di kampung itu sudah lama menyuruh kami sekeluarga tinggal di rumahnya. Kebetulan rumahnya besar dan dia berdua saja dengan isterinya di rumah itu.
Lega juga hati kami melihat kemurahan hati beliau mengajak tinggal bersama dia di rumahnya itu. Dalam kehidupannya sehari-hari dia berladang saja. Mulai dari ubi kayu, ubi jalar, kacang kedele, jagung, padi gogo (huma), itulah tanaman yang ditanam di ladangnya itu.
Rumah Mang Saliman terletak tidak jauh dari tepi Sei. Bilah dan bila kita ingin menyeberang, dari tempat inilah kita naik perahu. Di seberang sungai terletak jalan setapak yang menghubungkan Kampung Sunut dengan Padang Matinggi, pusat pertahanan gerilyawan kita.
Jalan setapak itu persis berada di bawah pohon-pohon besar sebagai markasnya monyet-monyet yang jumlahnya cukup banyak. Kita tidak tahu berapa populasinya karena tak pernah ada sensus.
Belajar dari monyet.
Apa keistimewaan monyet-monyet itu sampai perlu diceritakan di sini? Memang, ada keistimewaannya dan ini merupakan satu keunikan tersendiri. Siang hari mereka tidak ada di markasnya, semuanya pergi ke hutan yang ada dibelakangnya. Cari mamamlah !
Setelah sore hari barulah mereka itu pulang dan setelah kumpul semuanya bukan main pula ributnya. Entah apa yang dibicarakannya kita tak tahu. Waktu itu saya belum tahu, teori Charles Darwin mengatakan, bahwa manusia itu berasal dari monyet.