Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Kami yang Bergerilya di Tapanuli Selatan Tahun 1949

24 November 2017   22:38 Diperbarui: 1 Desember 2017   20:08 6280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di rumah inilah penulis pernah tinggal bersama keluarga di Kp. Sunut di tepi Sei Bilah pada tahun 1949. Foto ini di ambil thn 1995 sewaktu penulis Napak Tilas (dok. pribadi)

Kalau bepergian, entah ke mana, ayah saya selalu memakai tongkat dari rotan semambu. Katanya, ular takut pada rotan jenis ini tetapi anggapan itu tidak benar. Yang iyanya, tongkat rotan itu digunakan untuk mencegah kita jangan sampai jatuh terpeleset sebab, jalan-jalan setapak itu banyak yang licin, terlebih lagi di musim hujan.

Tongkat dari rotan semambu yang digunakan ayah saya sewaktu bergerilya (dok. pribadi)
Tongkat dari rotan semambu yang digunakan ayah saya sewaktu bergerilya (dok. pribadi)
Tongkat rotan semambu itu sampai saat ini masih ada dan sebagai satu-satunya warisan Gerilya 1949 yang kami miliki. Saya tidak tahu dari mana orang tua saya dahulu mendapatkannya.

Lalu, di saat ini tongkat rotan semambu itu saya gunakan saat saya bepergian ke mana saja, setelah kaki saya cedera kena serempet sepeda motor tanggal 3 Mei 2017 yang lalu. Sepertinya tongkat itu tak pernah berhenti berfungsi.

Tongkat rotan semambu ini yang menemani kemana saya berjalan pasca kecelakaan awal Mei 2017 yg lalu (dok. pribadi)
Tongkat rotan semambu ini yang menemani kemana saya berjalan pasca kecelakaan awal Mei 2017 yg lalu (dok. pribadi)
Mungkin di antara para pembaca ada yang bertanya, bagaimana peri kehidupan kami pada masa bergerilya dahulu. Terutama makan, minum, mencuci dan lampu penerangan di malam hari.

Mencari beras memang, susah-susah gampang pada masa itu karena tidak ada kedai yang menjualnya. Untuk mendapatkan beras terpaksa kita kokang/barter dengan garam atau kain belacu. Pada masa itu garam sangat berharga, terkadang lebih mahal dari harga emas.

Kebetulan kami yang mengungsi ke hutan tersebut membawa satu sumpit garam yang berisi 20 buah garam buku/garam tepek. Dengan satu buah garam tepek tersebut bisa dibarter dengan beras sampai 40 Kg.

Kalau ditukar dengan kain belacu, 15 Kg beras bisa ditukar dengan 1 meter kain belacu. Kebetulan kami membawa 1 kayu kain belacu. Cuma, ide siapa ini dahulu kurang saya ketahui. Begitulah alat pembayaran pada masa itu.

Ada kalanya kami kehabisan beras dan untuk mendapatkannya kebetulan sangat susah. Akhirnya sebagai kompensasi, terpaksalah kami makan singkong, keladi, ubi jalar, atau jagung. Sekali-sekali makan pisang rebus untuk mengganjal perut yang lagi kosong.

Untuk mendapatkan sayuran terpaksalah kami mencarinya ke hutan. Di hutan bisa didapatkan pakis, rimbang, terong, kincung, pisang hutan, dan sebagainya. Ada kalanya kami menemukan bekas ladang orang yang sudah menjadi hutan karena ditingal pergi oleh yang empunya. Maka di situ bisa kami dapatkan cabai, bawang, terong, timun, dan lain-lain.

Memang, pada masa itu dibutuhkan kesabaran dan tawakkal di dalam menghadapi situasi dan keadaan. Jika kita ikhlas menerima keadaan meski di dalam hutan pun bisa juga kita mendapatkan rezeki dari Allah Yang Maha Kuasa.

(Bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun