Di kampung itu pula dikuburkan anak dari Kapten Manap Lubis yang masih balita karena mendapat sakit demam panas. Kampung itu memang cukup ramai karena penghuninya kebanyakan orang kita yang datang dari Jawa. Mereka bertani di sana disamping juga berkebun. Belasan rumah ada di kampung itu.
Dari Kampung Padang Matinggi itu mulailah kami menempuh perjalanan dengan berjalan kaki ke arah barat menuju Kampung Sunut namanya, yang juga berada ditepi Sei Bilah. Di sini kami tinggal cukup lama juga sambil mencari informasi dari warga di kampung mana saja yang ada "dukun beranaknya".
Setelah menyeberangi Sei. Bilah barulah berjalan kaki menuju Pasar Simundol, suatu kampung yang cukup ramai juga. Di kampung ini kami bermalam satu malam sebelum melanjutkan perjalanan ke Sipiongot.
Setelah tiba di Sipiongot dan bermukim di sana dua minggu lamanya ternyata di Ibu Kota Kecamatan itu sendiri juga tidak ada "dukun beranak" yang bisa diminta pertolongannya. Akhirnya ayah saya mengambil keputusan untuk kembali lagi ke Padang Matinggi.
Ada kekhawatiran tentara Belanda bisa saja datang mendadak ke Sipiongot karena jaraknya dari Gunungtua, yang sudah diduduki Belanda, tidaklah terlalu jauh jaraknya. Lagi pula jalannya beraspal. Bisa saja Belanda menyerbu dengan menggunakan panser atau tank.
Setelah tiba di Padang Matinggi dilanjutkan lagi perjalanan ke Sunut dan di sini diputuskan bermukim agak lama setelah melihat ibu kandung saya sudah merasa kelelahan dalam menempuh perjalanan yang panjang.
Apakah kami berjalan kaki itu memakai sepatu atau sendal. Dua jenis barang itu tidak kami kenal, setiap perjalanan ditempuh dengan kaki telanjang atau lebih dikenal "kaki ayam". Wajarlah kaki kami itu berdarah-darah karena sering tertusuk duri, ranting-ranting patah, terpukul batu-batu, bahkan tidak jarang digigit pacet.
Baju kami sering basah karena di tengah jalan selalu diguyur hujan. Kalau ada daun pisang hutan atau daun keladi barulah bisa berpayung. Itu pun sekedar menutup kepala saja.
Di antara bapak-bapak tentara kita yang ikut bergerilya banyak juga mereka yang tidak bersepatu. Ke sana ke mari dengan kaki ayam, begitulah keadaan gerilyawan kita pada masa itu. Sedihnya kalau mereka itu harus masuk padang alang-alang atau semak belukar mengintai musuh, di situlah kaki mereka banyak yang lecet.
Selama bergerilya melalui jalan-jalan setapak itu hampir tak pernah berjumpa atau melihat binatang buas. Kalau pun berpapasan hewan-hewan buas itu menghindar, cepat-cepat dia melarikan diri. Bukan tidak pernah berpapasan dengan harimau, beruang, ular-ular berbisa, rusa, tetapi mereka semua cepat melarikan diri.