Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Menyambut Hari Guru dan Persoalan yang Menderanya

23 November 2017   23:42 Diperbarui: 25 November 2018   13:41 2594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (imgur.com.com)

Sebagai seorang mantan guru, yang pernah mengajar hampir dua puluh tahun lamanya, tentu merasakan bagaimana pergolakan di dunia pendidikan sampai saat ini sekalipun kini tidak lagi menyandang status guru.

Dalam dunia pendidikan ada dua hari yang selalu diperingati. Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Lalu, setiap tanggal 25 November diperingati pula Hari Guru. Akan tetapi pada event-event peringatan tersebut selalu saja berlalu tanpa kesan.

Kali ini pada peringatan Hari Guru suasananya akan seperti tahun-tahun yang lalu juga. Tidak ada kesan apa-apa dan nampaknya semakin lama kehilangan maknanya. Meskipun demikian kita masih bangga dengan Hari Guru tersebut karena Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Banggakah kita dengan gelar tersebut?  Sepintas nampaknya demikian, bangga disebut Pahlawan sekalipun Tanpa Tanda Jasa.Apakah idiom itu hanya sekedar penghibur para guru saja, tidaklah kita ketahui. Padahal, dibalik itu tersimpanlah banyak persoalan guru yang bergelut di dunia pendidikan.

Tiang lurus pendidikan adalah guru tetapi pada guru itu pula tersentuh masalah yang menyangkut dengan kualitas profesi guru dan satu lagi masalah guru itu sendiri. Dari tahun ke tahun selalu itu saja yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita.

Kekurangan guru di daerah-daerah, pengangkatan guru PNS yang selalu lambat, honor guru-guru swasta hampir tak pernah tuntas dalam satu program besar yang mumpuni. Semua masalah itu di-tackle dengan kebijakan antisipatif saja.

Begitu pula dengan kualitas profesi guru yang hampir tidak pernah menemukan standarnya.Guru hanya berpegang pada buku-buku paket saja dan hampir tak pernah mengevaluasinya mengikuti perkembangan dunia informasi yang semakin lama semakin maju. Perlengkapan alat laboratorium misalnya, belum tentu semua sekolah memilikinya.

Yang prihatin bagi kita, bila belum ada listrik terpasang pada sekolah-sekolah itu sehingga bagaimana mau mengadakan perangkat komputer di situ. Kenyataan ini kita jumpai pada sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil.

Pemerataan edukasi belum tercapai saat ini, baik dibidang tenaga guru maupun dibidang equipment peralatan laboratorium. Kepincangan itulah yang menimbulkan problema di dunia pendidikan kita sekarang ini.

Tetapi, yang paling pantas menjadi fokus pendidikan kita saat ini adalah masalah guru karena bagaimanapun juga pendidikan tidak akan jalan tanpa guru. Itu sudah pasti!

Namun, kita sendiri masih sadar, guru-guru itu sendiri adalah manusia juga dan tidak terlepas dari segala problem dalam kehidupannya.

Guru-guru wanita misalnya, pulang dari mengajar mereka sudah dihadapkan pula dengan urusan rumah tangga sehingga waktu banyak tersita kesana. Bagaimana mungkin pula guru-guru wanita itu menambah wawasannya di bidang studi yang diajarkannya di sekolah. Rasa lelah mengurangi antusias.  Guru-guru pria terkadang terpaksa menambah penghasilannya dengan profesinya sebagai penarik becak, jualan dipinggir jalan, dan profesi lainnya.

Di mata siswa, guru seperti itu selalu dipandang rendah, terlebih lagi siswa-siswa yang kehidupannya penuh dengan glamour.  Yang lebih parah lagi, ada guru pria yang berani minta dibelikan sebungkus rokok kepada siswanya. Tidakkah perbuatan ini mengurangi wibawa si guru sebab si murid sudah pasti memandang rendah kepada guru tersebut.

Dahulu sewaktu penulis menjadi siswa di SMA, pergi ke sekolah itu hanya dengan sepeda.Tetapi, kini murid-murid SMA ada diantaranya yang pergi ke sekolahnya itu dengan menggunakan mobil sedan, yang pada masa saya dahulu tidak pernah terjadi. Akhirnya apa?  Sekolahnya itu disebut sekolah favorit dan orang-orang tua banyak yang bangga jika anaknya menjadi siswa di sekolah seperti itu.

Belakangan ini terjadi suatu keributan pada sekolah-sekolah favorit  pada waktu penerimaan siswa pada tahun ajaran baru. Di Medan terjadi penambahan murid siluman hal tersebut dikarenakan besarnya permintaan orangtua yang ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah favorit tersebut.

Dengan adanya surat miskin bisalah si Bapak atau si Ibu (yang rata-rata orang yang mampu/bonafit) memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit tersebut walaupun duduk di dalam kelas siluman tadi. Meski kelas siluman tetapi masuk ke sana tidaklah gratis walau surat miskin sudah ada di tangan.

Akhirnya hal ini menjadi persoalan tersendiri di Medan dan yang demikian itulah gambaran dunia pendidikan kita sekarang ini. Seakan hitam putih pendidikan itu bisa ditentukan oleh siapa saja.

Kelamnya dunia pendidikan kita sekarang ini tiada lain disebabkan perilaku para pendidik kita juga yang belum siap. Dunia pendidikan kita sudah dijadikan semacam komoditi  atau yang disebut komoditi  pendidikan. Imbasnya tak langsung melunturkan dunia pendidikan  karena sentuhannya hanya pada pelaku-pelaku yang terlibat dalam dunia pendidikan saja.

Di dalam dunia pendidikan yang seperti itu pendidikan kita dihadapkan pula pada satu tantangan baru yaitu mewujudkan generasi millenial yang juga disebut dengan generasi emas. Seakan membentuk generasi millenial itu merupakan kewajiban bagi dunia pendidikan kita.

Generasi millenial itu adalah tuntutan zaman, bukan tuntutan pendidikan, apalagi tuntutan kurikulum. Bagaimana membentuk generasi millenial itu kalau orangnya tidak siap untuk menghadapi era millenium itu sendiri.  Kalau ditanya, apakah para guru sudah siap untuk menghadapi generasi millenial kemungkinan besar jawaban tidak siap.

Memang, guru-guru kita tidak dipersiapkan untuk itu. Waktunya habis untuk mengajar dengan tambahan pekerjaan rutin di rumah tangganya masing-masing. 

Kemajuan teknologi jangan dijadikan rujukan untuk membentuk generasi millenial sebab, sampai saat ini revolusi teknologi itu belum lagi sampai kepada revolusi energi. Bagaimana juga krisis energi merupakan yang paling urgent di masa akan datang.  Saat ini revolusi teknologi kita baru sebatas modifikasi perangkat teknologi agar terlihat lebih modern lagi. Dalam kapasitas seperti itulah kita ingin menciptakan generasi millenial, apakah mungkin?

Karena itu jangan terlalu optimis dengan gagasan generasi millenial tadi, sementara dunia pendidikan kita masih acak-acakan. Keinginan itu hanya terayu oleh kemajuan teknologi saja.  Mau berapa kali pun ganti kurikulum untuk menyesuaikan dengan generasi millenial tersebut tetapi, selagi pelaku-pelaku yang harus terlibat didalamnya masih saja bermentalkan pendidik amatir, bukan sebagai pendidik profesional, maka selama itu pula sulit bagi kita untuk mencapai prediket generasi millenialtadi.

Sebaiknya ide tentang generasi millenial itu tunda saja dahulu karena prioritas utamakita harus fokus lebih dahulu pada pembenahan dunia pendidikan kita yang notabene masih jalan ditempat mengingat begitu banyaknya kendala yang perlu dicarikan solusinya. Kesejahteraan guru harus mendapat perhatian yang utama. Jangan lagi ada guru yang meminta sebungkus rokok kepada anak muridnya. Memang, guru itu bukan pengusaha, dia hanyalah "koeli kapur" yang selalu menghadapi papan tulis. 

Kalau mau menjadi guru harus sanggup bermental ganda, di samping selalu susah menghadapi soal hidup (ekonomi) juga harus tahan "makan hati" melihat perilaku murid-murid yang makin lama semakin brutal.  Meski demikian adakalanya seorang guru itu keluar dari citra pendidik karena telah berani memperlakukan anak didiknya secara kasar.

Tidak sedikit kejadian seorang guru memukul anak muridnya sampai pingsan, sampai cacat, seakan muridnya tadi bukan lagi anak asuhannya.

Ada pula guru-guru itu yang berbuat mesum dengan muridnya sendiri. Bukan satu atau dua orang saja yang jadi korban tetapi sampai belasan orang. Si guru tadi melakukan mesum massal terhadap siswi-siswinya.

Semua perbuatan guru seperti itu sudah pasti merusak citra guru yang seharusnya menjadi panutan tetapi berubah menjadi perusak masa depan anak-anak muridnya sendiri. Perilaku seperti itu sulit untuk dimengerti, apakah yang demikian itu penyimpangan dari pedagogi atau akibat modernisasi kehidupan.

Tetapi, apapun yang sudah terjadi pada guru, yang baik maupun yang jelek, tetap saja kita masih menaruh harapan kepada guru-guru tersebut. Sebab, masa depan generasi muda kita terletak di tangannya.

Untuk menjadi guru saat ini harus tahan godaan kalau guru itu senantiasa mau berada di profesinya. Godaan yang pertama datang dari komoditas barang-barang teknologi yang selalu berganti modifikasi dan yang demikian itu selalu menggoda. Godaan kedua tiada lain datang dari ruang lingkup pendidikan itu sendiri berupa persaingan antar guru karena berbeda status dan juga tekanan moril yang datang dari anak-anak didik kita. 

Tidak sedikit guru-guru dijuluki dengan "gelar plesetan" yang pada masa saya mengajar dahulu cukup banyak inventarisnya.Ada seorang Ibu Guru dijuluki Ibu Geleng-Geleng karena dia selalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dia sedang mengajar. Ada lagi seorang Ibu Guru dijuluki Ibu "Do Re Mi" (not lagu) karena ibu ini kalau marah pada muridnya suka mengambil mistar papan tulis yang panjang untuk memukulnya. Rupanya Do Re Mi itu artinya "Doyan Rebut Mistar".

Yang lain ada pula yang dijuluki Ibu "Manado" (ibukota Sulawesi Utara). Lama baru saya mengetahui apa artinya. Rupanya Manado itu singkatan dari "Mau Nampang Doang". Mereka mengatakan Ibu itu tidak ada apa-apanya. Seorang Bapak Guru dijuluki Bapak Panber's (group musik Panjaitan Bersaudara) tetapi gelar Panber's itu lain maksudnya. Panber's itu artinya "Pamberang Sangaik" (dalam bahasa Minang) maksudnya Pemarah Sekali.

Selama saya mengajar mudah-mudahan saya tidak pernah mendapat julukan yang tidak mengenakkan hati itu. Namun, kepada saya diberikan juga gelar "Guru Idola" yang tidak membawa arti apa-apa. Benar-benar saya ini idola mereka para murid. Mengapa sampai bisa begitu, tentu ada sebabnya. Melihat diri saya diberi gelar "Guru Idola" ada juga diantara guru-guru lainnya itu yang merasa iri hati lalu, meminta pula diberi gelar itu. Oleh murid-murid diberi juga gelar itu pada seorang Ibu Guru tetapi maknanya sudah lain.

Ibu Guru yang diberi gelar "Idola" itu memang cocok sekali dengan perilakunya selama ini. "Idola" itu diartikan murid-murid dengan "Ibu Doyan Lapak" karena dia suka Malapak = Menampar murid-murid. Lapak itu bahasa Minang!

Saya dijuluki "Guru Idola" itu tentu ada sebabnya. Saya pribadi sebagai seorang guru tidak pernah menampar, apalagi memukul murid didalam kelas walau bagaimanapun nakalnya anak-anak didik kita itu. Selain itu saya mempunyai prinsip, selagi di kelas saya seorang guru, diluar kelas saya ini "sahabatnya" siswa-siswa.Yang demikian itu bukan dibuat-buat, pembawaan saya memang sudah begitu. Maka akhirnya dilemparkanlah tudingan kepada saya dengan mengatakan saya itu "lemah" terhadap siswa-siswa.

Namun, tidak demikian kenyataannya, selagi saya mengajar hampir tidak pernah suasana di kelas itu ribut. Saya memberikan pelajaran tidak monotoon tetapi selalu bervariasi. Itulah yang mungkin menyebabkan anak-anak didik itu betah mengikuti pelajaran dari saya. Padahal, bidang studi yang saya ajarkan ada empat macam, yaitu Fisika, Matematika, Biologi, Bumi dan Antariksa.

Kita harus sadar bahwa siswa-siswa yang sedang kita didik itu semuanya berada didalam masa pertumbuhandan tentunya dalam situasi seperti itu situasi jiwanya masih labil. Gamang kalau dilepas sendirian. Anak manusia yang seperti ini butuh panutan. Itu sudah pasti!

Banyak dikalangan murid-murid saya dahulu yang mengadu kepada saya dari perihal masalah pribadinya. Bukan sekali dua kali saya menyelesaikan masalah "asmara" yang merasuk kedalam jiwa murid-murid saya sehingga saya dijuluki oleh mereka "Dr. Asmara". Saya hanya ketawa saja mendengar julukan itu. 

Pernah juga saya menyelesaikan persoalan rumah tangga murid saya karena dia diperlakukan secara keras oleh orangtuanya. Bukan itu saja, juga pernah saya menyelesaikan orang tua dari murid saya yang hampir bercerai. Semua apa yang saya lakukan itu tanpa setahu Kepala Sekolah dan guru-guru yang lain. Memang, yang demikian itu sengaja saya lakukan karena persoalan itu bukan lagi masuk lingkungan sekolah tetapi, sudah masuk lingkungan pribadi.   

Ketika sekolah tempat saya mengajar itu mau dibakar oleh murid-murid saya yang tidak lulus ujian akhir, saya sendiri saja yang menghadapinya setelah semua guru saya suruh pulang. Akhirnya niat untuk membakar sekolah itu dibatalkan oleh mereka setelah mereka tahu saya ada di sekolah menunggu kedatangan mereka. Wibawa saya sebagai seorang guru itulah yang membuat mereka murid-murid itu enggan untuk berbuat lebih jauh.

Namun, saya sendiri tak pernah mendapatkan julukan "Guru Teladan". Guru-guru Teladan pada masa itu hanya didasarkan pada prestasi akademiksaja, bukan berdasarkan interaksidengan murid, bagaimana membina murid-murid itu sehingga menjadi "murid teladan".   

Inilah kesan-kesan dan juga saran-saran yang bisa saya berikan dalam rangka menyambut Hari Guru. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya tentang tulisan saya ini. Saya mohon ma'af kalau ada guru yang merasa tersinggung.

Tak lupa saya ucapkan Selamat Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25 November setiap tahunnya. Semoga ada manfaatnya ! 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun