Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Menyambut Hari Guru dan Persoalan yang Menderanya

23 November 2017   23:42 Diperbarui: 25 November 2018   13:41 2594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (imgur.com.com)

Karena itu jangan terlalu optimis dengan gagasan generasi millenial tadi, sementara dunia pendidikan kita masih acak-acakan. Keinginan itu hanya terayu oleh kemajuan teknologi saja.  Mau berapa kali pun ganti kurikulum untuk menyesuaikan dengan generasi millenial tersebut tetapi, selagi pelaku-pelaku yang harus terlibat didalamnya masih saja bermentalkan pendidik amatir, bukan sebagai pendidik profesional, maka selama itu pula sulit bagi kita untuk mencapai prediket generasi millenialtadi.

Sebaiknya ide tentang generasi millenial itu tunda saja dahulu karena prioritas utamakita harus fokus lebih dahulu pada pembenahan dunia pendidikan kita yang notabene masih jalan ditempat mengingat begitu banyaknya kendala yang perlu dicarikan solusinya. Kesejahteraan guru harus mendapat perhatian yang utama. Jangan lagi ada guru yang meminta sebungkus rokok kepada anak muridnya. Memang, guru itu bukan pengusaha, dia hanyalah "koeli kapur" yang selalu menghadapi papan tulis. 

Kalau mau menjadi guru harus sanggup bermental ganda, di samping selalu susah menghadapi soal hidup (ekonomi) juga harus tahan "makan hati" melihat perilaku murid-murid yang makin lama semakin brutal.  Meski demikian adakalanya seorang guru itu keluar dari citra pendidik karena telah berani memperlakukan anak didiknya secara kasar.

Tidak sedikit kejadian seorang guru memukul anak muridnya sampai pingsan, sampai cacat, seakan muridnya tadi bukan lagi anak asuhannya.

Ada pula guru-guru itu yang berbuat mesum dengan muridnya sendiri. Bukan satu atau dua orang saja yang jadi korban tetapi sampai belasan orang. Si guru tadi melakukan mesum massal terhadap siswi-siswinya.

Semua perbuatan guru seperti itu sudah pasti merusak citra guru yang seharusnya menjadi panutan tetapi berubah menjadi perusak masa depan anak-anak muridnya sendiri. Perilaku seperti itu sulit untuk dimengerti, apakah yang demikian itu penyimpangan dari pedagogi atau akibat modernisasi kehidupan.

Tetapi, apapun yang sudah terjadi pada guru, yang baik maupun yang jelek, tetap saja kita masih menaruh harapan kepada guru-guru tersebut. Sebab, masa depan generasi muda kita terletak di tangannya.

Untuk menjadi guru saat ini harus tahan godaan kalau guru itu senantiasa mau berada di profesinya. Godaan yang pertama datang dari komoditas barang-barang teknologi yang selalu berganti modifikasi dan yang demikian itu selalu menggoda. Godaan kedua tiada lain datang dari ruang lingkup pendidikan itu sendiri berupa persaingan antar guru karena berbeda status dan juga tekanan moril yang datang dari anak-anak didik kita. 

Tidak sedikit guru-guru dijuluki dengan "gelar plesetan" yang pada masa saya mengajar dahulu cukup banyak inventarisnya.Ada seorang Ibu Guru dijuluki Ibu Geleng-Geleng karena dia selalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dia sedang mengajar. Ada lagi seorang Ibu Guru dijuluki Ibu "Do Re Mi" (not lagu) karena ibu ini kalau marah pada muridnya suka mengambil mistar papan tulis yang panjang untuk memukulnya. Rupanya Do Re Mi itu artinya "Doyan Rebut Mistar".

Yang lain ada pula yang dijuluki Ibu "Manado" (ibukota Sulawesi Utara). Lama baru saya mengetahui apa artinya. Rupanya Manado itu singkatan dari "Mau Nampang Doang". Mereka mengatakan Ibu itu tidak ada apa-apanya. Seorang Bapak Guru dijuluki Bapak Panber's (group musik Panjaitan Bersaudara) tetapi gelar Panber's itu lain maksudnya. Panber's itu artinya "Pamberang Sangaik" (dalam bahasa Minang) maksudnya Pemarah Sekali.

Selama saya mengajar mudah-mudahan saya tidak pernah mendapat julukan yang tidak mengenakkan hati itu. Namun, kepada saya diberikan juga gelar "Guru Idola" yang tidak membawa arti apa-apa. Benar-benar saya ini idola mereka para murid. Mengapa sampai bisa begitu, tentu ada sebabnya. Melihat diri saya diberi gelar "Guru Idola" ada juga diantara guru-guru lainnya itu yang merasa iri hati lalu, meminta pula diberi gelar itu. Oleh murid-murid diberi juga gelar itu pada seorang Ibu Guru tetapi maknanya sudah lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun