Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keganasan Belanda Menumpas Pemberontakan Rakyat

17 November 2017   00:14 Diperbarui: 17 November 2017   00:55 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tulisan terdahulu yang berjudul "Cikal Bakal Perintis Kemerdekaan Indonesia "telah disampaikan riwayat perjuangan para Perintis Kemerdekaan Indonesia yang terlibat dalam Pemberontakan Rakyat antara tahun 1926 -- 1927, yang diawali oleh Pemberontakan Jakarta pada tanggal 12 Nopember 1926.

Memang Belanda tidak menyangka bakal terjadi Pemberontakan Rakyat yang begitu luasnya pada masa itu. Hampir terjadi dimana-mana secara sporadis. Sebab-sebabnya tentulah ada, bukanlah pemberontakan itu meletus begitu saja. Hanyalah Belanda yang tidak mau melakukan introspeksi.

Dimanapun saja diatas dunia ini yang namanya koloni jajahan selalu diperlakukan secara tidak adil oleh penjajahnya (kolonial) sendiri. Karena itulah kita tidak dapat menerima penjajahan diatas dunia ini sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut :

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Kekejaman yang dilakukan kaum penjajah kolonial terhadap anak jajahan tidaklah sama, tergantung bagaimana karaktersi penjajah. Penjajah paling liberal, seperti halnya Inggris, adalah penjajah yang paling royal. Masih ada kebebasan yang diberikan kepada rakyat jajahannya.

Selanjutnya penjajah setengah liberal, seperti halnya Perancis, Jerman, dan Italia, adalah penjajah setengah royal. Kebebasan yang diberikan kepada rakyat jajahannya terkendali sekali. Kebebasan itu selalu dikontrol. 

Kemudian penjajah setengah kolot, seperti halnya dengan Belanda dan Belgia, termasuk penjajah setengah pelit. Rakyat jajahannya diperlakukan diluar batas-batas peri kemanusiaan.  

Terakhir penjajah yang paling kolot, seperti halnya dengan Portugis dan Spanyol, dikategorikan sebagai penjajah paling pelit. Namun, kemerdekaan bangsa-bangsa yang dijajahnya relatif sekali. Rakyat jajahannya diperlakukan tidak manusiawi.

Indonesia yang dijajah oleh kolonial Belanda setengah pelit itu lebih dahulu merdeka dari India yang dijajah oleh Inggris yang dikategorikan paling royalitu. Kemerdekaan Indonesia itu dicapai melalui perjuangan yang sangat panjang dan diukir oleh segala macam penderitaan yang tiada taranya dalam sejarah. Kemerdekaan kita itu dicapai bukan dibawah sinar bulan purnama tetapi dengan darah, air mata dan nyawa.

Kalau tidak ada perjuangan tidak mungkin Belanda mau memerdekan Indonesia. Itu sudah pasti ! Penderitaan yang kita alami memperebutkan kemerdekaan itu berdurasiberabad-abad lamanya selama Belanda menjajah Tanah Air kita.

Perlakuan Belanda terhadap para pejuang kita yang terlibat dalam Pemberontakan Rakyat 1926/1927 itu sulit untuk dilukiskan bagaimana kekejaman Belanda pada saat itu. Perlakuan Belanda disaat itu memang sudah diluar batas-batas peri kemanusiaan.

Akibat dari Pemberontakan Rakyat 1926/1927 tersebut pihak Belanda menangkap para Pemberontak dari seluruh Indonesia sebanyak 13.000 (tigabelas ribu) orang dan dari jumlah itu sebanyak 4.500 (empatribu limaratus) orang dipenjarakan di berbagai penjara di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Yang dibuang ke Boven Digul, Papua sebanyak 1.400 (seribu empatratus) dan ratusan orang lainnya dihukum mati dengan tembakan, naik tiang gantungan, atau ditebas lehernya dengan kelewang.

Oleh karena diperkenankan membawa keluarga maka yang dibuang ke Boven Digul itu akhirnya seluruhnya berjumlah 5.000 (lima ribu) orang yang diangkut dengan kapal laut secara bertahap sampai tiga kali angkut.

Akhirnya mereka para Pemberontak yang ditangkap tersebut selayaknyalah disebut sebagai tahanan politik (interniren) karena mereka itu bukan tahanan kriminal atau tahanan penjahat.  

Bagaimana perlakuan Belanda terhadap tahanan politik (interniren) pejuang-pejuang Pemberontakan Banten misalnya, hampir seluruhnya diperlakukan secara kejam dan sedikitpun tidak menyentuh peri kemanusiaan.

Kiyai Tubagus Moh. Saleh, Kiyai Abdulrahim dan Kiyai Achmad ditembak mati oleh Belanda sewaktu para Kiyai itu sedang melakukan sholat di Mesjid Manuntung. Para tahanan politik lainnya H. Asikin, Jasa, Dursalam, Dulhadi dan Jamin digantung di atas tiang gantungan sampai menemui ajalnya.

Ratusan tahanan politik lainnya yang dipenjarakan di beberapa tempat hanya diberi jatah makanan satu muk (kobokan/cuci tangan) sehari. Suara "ceter"cambuk cemeti berulang kali terdengar yang hinggap ditubuh mereka para Pemberontak itu. Belum lagi yang ditendang, dipukul pakai popor senjata, dan berbagai cara penyiksaan lainnya yang semuanya itu dialami oleh mereka para internirentersebut.

Hampir sama "gilanya" orang-orang Belanda yang memperlakukan para tahanan politik yang ditangkap Belanda pada Pemberontakan Solo. Beragam model penyiksaan dilakukan Belanda idem ditto dengan apa yang mereka lakukan terhadap tahanan politik dari Pemberontakan Banten.    

Lebih sakit lagi karena Belanda menganggap para Pemberontak dari Pemberontakan Solo itu adalah orang-orangnya H. Misbach yang dituduh Sarekat Rakyat komunistis.

Sehingga semua para Pemberontak itu dituduh komunis semuanya padahal, mereka itu memberontak karena selama ini diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Belanda.

Kekejaman Gubernur Jendral Belanda, A.C.D. de Graeff, yang reaksioner itulah yang menjadi penyebab timbulnya Pemberontakan Rakyat dimana-mana. Kebijakan G.G. (Governoor General) mengeluarkan banyak peraturan yang tidak adil yang akhirnya menimbulkan kesengsaraan dikalangan rakyat. Jadi, Pemberontakan Rakyat tersebut bukanlah disebabkan pengaruh komunistetapi karena rakyat selalu lapar.  

Sebelum terjadi Pemberontakan Silungkang ketidakadilan yang dilakukan Belanda sangat dirasakan sekali oleh rakyat di Silungkang. Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan, rakyat setempat tidak boleh menjual berasnya ke tempat lain. Hanya boleh dijual di tempatnya sendiri dimana rakyat itu bermukim.

Belanda mengeluarkan peraturan seperti itu tetapi Belanda juga melanggarnya. Ketika amtenar-amtenar Belanda di Sawahlunto kehabisan beras mereka para amtenar itu meminta agar mendatangkan beras dari Kota Solok, yang terkenal dengan berasnya itu dan tidak jauh jaraknya dari Sawahlunto.

Sementara rakyat Silungkang kelaparan tetapi tidak boleh mendatangkan beras dari Kota Solok, yang jaraknya lebih dekat ketimbang ke Sawahlunto. Akhirnya rakyat Silungkang terpaksa menghadang kereta api yang mengangkut beras dari Kota Solok untuk kebutuhan amtenar yang ada di Kota Sawahlunto dan kemudian merampasnya.

Kejadian itu sangat menambah murka orang-orang Belanda yang ada di Sawahlunto tetapi itu adalah kesalahan orang-orang Belanda sendiri. Bagi dia boleh tetapi bagi rakyat dilarang, seakan orang Belanda "barajo dihati, basutan dimato"kata urang awak (orang Minangkabau).

Memang, Pemberontakan Silungkang cukup lama tetapi serangan pertama ke Kota Sawahlunto pada malam tanggal 1 Januari 1927 itu boleh dikatakan singkat sekali. Akhirnya para Pemberontak mengundurkan diri tetapi mereka sendiri tidak kembali ke kampungnya masing-masing, banyak diantaranya bersembunyi di hutan-hutan sekitar Sawahlunto dan Silungkang. Sebagian tertangkap oleh polisi Belanda.

Lusa harinya tanggal 3 Januari 1927 pasukan KNIL Belanda Garnizun Sawahlunto dan dibantu Marsose Belanda yang didatangkan dari Kota Padang melakukan razia. Mereka melakukan penyisiran diseluruh Kota Silungkang untuk mencari dan menangkap para Pemberontak tetapi tidak satu orangpun ada disana.   

Bukan main marahnya tentara Belanda lalu, pasukan Belanda melakukan aksi yang tidak terpuji. Semua warga Kota Silungkang ditangkap dan digiring ke depan Pasar Silungkang lalu, disana mereka dijemur dibawah teriknya sinar matahari sehari penuh.

Belanda melakukan tindakan itu untuk memaksa para Pemberontak keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerahkan diri. Memang, aksiBelanda itu cukup berhasil.

Tetapi, perbuatan Belanda menjemur warga Silungkang itu sangatlah tidak manusiawi, sangat biadab, karena yang dijemur itu termasuk anak-anak kecil bahkan, diantaranya ada yang masih bayi. Wanita dan lelaki yang sudah jompo, orang-orang yang cacat, perempuan yang lagi hamil, tanpa kecuali, semuanya dijemur tanpa diberi makan dan minum.

Akibat dari kejadian itu banyaklah diantara warga tersebut yang jatuh pingsan karena kehausan. Akhirnya untuk melepaskan rasa dahaga sampai ada di antara mereka yang menjilat keringatnya sendiri.

Yang kasihan kita melihat anak-anak yang sedang kehausan. Mereke menjerit-jerit minta minum tetapi pihak tentara Belanda tidak peduli. Ada orang yang ingin memberi air minum lalu sempat ketahuan. Air minumnya dirampas dan dibuang. Berbagai tragedi yang sangat memilukan hati terjadi pada saat itu yang tidak bisa dilupakan orang.

Katanya orang Belanda itu beradab bahkan, menganggap dirinya lebih beradab dari inlanderpribumi orang Indonesia tetapi, ternyata biadab. Rata-rata orang Eropah, orang Barat, semuanya begitu kelakuannya. Kejam terhadap orang yang bukan sebangsanya.

Keganasan Belanda belum sampai disitu saja, masih berlanjut. Para Pemberontak tidak tega melihat keluarganya diperlakukan kejam seperti itu. Akhirnya mereka semua terpaksa keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerahkan diri.

Semua para Pemberontak yang ditangkap itu lebih dari 5.000 (lima ribu) orang. Tentu saja yang tertangkap ini diperlakukan lebih ganas lagi oleh Belanda. Setelah mereka para Pemberontak itu dijebloskan kedalam dua penjara, yang masing-masingnya hanya mampu menampung 150 orang tahanan, dapatlah dibayangkan bagaimana sesaknya duapenjara tersebut.

Tidurpun terpaksa berdiri, tak mungkin untuk merebahkan diri. Yang demikian itu tidak sebentar, berlangsung berhari-hari lamanya. Betapa tersiksanya para tahanan politik itu tidaklah dapat dibayangkan. Mungkin Anda bergidik melihatnya. Tentu saja, bagaimana bisa tidur nyenyak seperti itu dengan mimpi yang indah.   

Sudahlah tidur tidak nyenyak, ransum makanan pun dijatah pula. Untuk sarapan pagi, makan siang maupun makan malam hanya diberikan satu muk(kobokan/tempat cuci tangan) saja.

Lauknya ikan asin yang kecil-kecil itu ditambah dengan rebusan sayur kangkung sedikit. Terkadang didalam sayur kangkung itu terdapat pula anak lintah atau cacing. Untuk air minumpun dijatah pula, hanya diberi satu cangkir kecil saja. Makan dan minum harus bergantian karena muk dan cangkirnya terbatas. 

(Bersambung).   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun