Selanjutnya Achdiat Kartamihardja penulis Atheis, Buyah Hamka penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Asrul Sani penulis Tiga menguak Takdir, Sitor Situmorang penulis Darah dan Doa (skenario film), J. E. Tatengkeng penulis syair Rindu Dendam, Â Pramoedya Ananta Toer penulis buku Bukan Pasar Malam.
Kemudian Armijn Pane penulis Belenggu, H. B. Yassin penulis Pantjaran Tjita, Bagindo Saleh penulis Puspaneka, Rustam Effendi penulis buku Bebasari, Utuy Tatang Sontani penulis Tambora, Sanusi Pane penulis Pantjaran Tjinta, dan sebagainya.
Dari Sumatera Utara setahu saya yang mendapat undangan adalah Madong Lubis, G. B. Josua, dan beberapa guru-guru senior yang mengajar Bahasa Indonesia. Para pejabat Negara Sumatera Utara juga hadir pada Kongres tersebut, terutama pada waktu pembukaan yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh bahasa dan sasterawan-sasterawan, baik daerah maupun nasional, yang hadir tetapi saya, penulis risalah ini, tidak ingat sama sekali nama-nama mereka semuanya. Pada waktu Kongres Bahasa Indonesia itu dibuka, saya penulis risalah ini, baru duduk di bangku sekolah SMP Kelas 1 (satu). Meskipun saat itu saya masih kecil tetapi perhatian saya pada sastra dan bahasa Indonesia cukup besar.
Memang, saya sendiri sangat mengagumi tokoh-tokoh bahasa dan sastrawan itu tetapi saya sendiri tidak dapat berjumpa dengan semua tokoh-tokoh itu untuk berkenalan walau keinginan untuk itu cukup besar. Hanya seorang saja yang saya sendiri dapat bertemu dan berkenalan dengannya, yaitu Nur Sutan Iskandar atau N. St. Iskandar karena tokoh Balai Pustaka ini kebetulan menginap di rumah saya sendiri selama Kongres berlangsung. Alangkah gembiranya hati saya dapat berkenalan dengan pengarang Salah Pilih itu.
Mengapa beliau itu bisa menginap di rumah saya, tiada lain disebabkan ayah saya sendiri, Abd. Wahid Er., mantan Bupati Labuhan Batu, Bupati Tapanuli Selatan, Bupati Aceh Selatan, adalah kemanakan dari N. St. Iskandar sendiri sama-sama berasal dari Maninjau, Sumatera Barat.
Saya harus memanggil N. St. Iskandar itu dengan sebutan Nambo dalam bahasa Minangkabau. Kalau dalam bhs. Indonesia disebut Kakek, atau dalam bhs. Melayu disebut Atok.
Dalam waktu-waktu senggang saya ambil kesempatan itu berbincang-bincang dengan beliau tentang bahasa maupun sastera Indonesia. Dia merasa heran, mengapa saya yang masih begitu kecil, masih duduk dibangku kelas satu SMP, tetapi sudah menguasai banyak tentang bahasa dan sastra Indonesia.Â
Dari situlah dia tahu saya ini senang pada buku-buku apa saja dan memang, kemudian setelah dia kembali ke Jakarta dia banyak mengirimkan buku-buku kepada saya. Bukan main besar hati saya menerima buku-buku itu, hampir sepuluh judul semuanya. Tetapi, di dalam berbincang-bincang itu dia dapat pula melihat aanleg atau bakat yang ada pada diri saya. Untuk mengetahui secara pasti dia mencoba melakukan test pada pribadi saya.
Dimintanya saya membuat sepotong surat untuk meminta buku kepadanya. Lalu, permintaannya itu saya kerjakan saat itu juga dan setelah selesai saya serahkan kepadanya. Setelah membaca surat saya itu dia merasa kagum dengan isi surat saya tersebut. Dia menilai, anak sekecil ini sudah mampu membuat surat dengan tulisan yang begitu rapi dan menggunakan bahasa Indonesia yang baku sehingga surat saya itu dinilainya setara dengan surat-surat orang dewasa.