Mohon tunggu...
Noer Wahid
Noer Wahid Mohon Tunggu... Penulis lepas di usia senja - Wakil Ketua Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia Cabang Sumut - Ketua Lembaga Pusaka Bangsa -

Seorang sepuh yang menikmati usia senja dengan aksara. E-mail ; nurwahid1940@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang Kembali Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Medan

28 Oktober 2017   00:23 Diperbarui: 28 Oktober 2017   09:58 3444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Student Univ Udayana.

Untuk pertama kali Kongres Bahasa Indonesia dilaksanakan pada penghujung tahun 1954. Tepatnya di akhir Oktober 1954 bertepatan dengan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1954. Tempat penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia itu dipilih Kota Medan, bukannya di Jakarta atau di Bandung atau di Surabaya.

Mengapa bukan di kota-kota tersebut padahal, Kota Medan pada saat itu sarana untuk mendukung pelaksanaan Kongres tersebut diperkirakan tidak mencukupi untuk menampung utusan Kongres yang cukup banyak. Bahkan, ada yang datang dari luar negeri seperti dari Malaya (sekarang Malaysia). 

Dengan mengambil Kota Medan sebagai tempat penyelenggaraan Kongres tentu saja ada alasannya. Bukan alasan politis dan bukan pula alasan budaya. Kota Medan terpilih sebagai tempat penyelenggaraan Kongres karena alasan bahasa sehari-hari masyarakat Kota Medan itu identik dengan bahasa Indonesia.

Ilustrasi gambar - kardusbuku.com
Ilustrasi gambar - kardusbuku.com
Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Kota Medan menggunakan dialek dan ejaan sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam tata bahasa Indonesia itu sendiri. Hal itu diketahui semua orang dan sudah berlangsung sampai saat ini.

Tetapi, daerah-daerah yang ada di sekitar Kota Medan, dialek dan ejaannya sudah berubah. Sepanjang pesisir Sumatera Timur dialeknya kental logat Melayu dan kalau kearah tengah dialeknya sudah logat Simalungun, Karo, dan Batak. Hanya Kota Medan sajalah yang dialeknya pas dengan bahasa Indonesia yang baku.

Terpilihnya Kota Medan sebagai tempat penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia adalah suatu kehormatan buat dan sekaligus kebanggaan bagi Kota Medan. Masyarakat pun umumnya antusias karena pelaksanaan Kongres itu sekaligus merupakan suatu pengakuan Nusantara, bahkan dunia, pada Kota Medan sebagai Kota Bahasa Indonesia.

Kebanggaan itu terukir di dalam hati setiap anggota masyarakat Kota Medan pada masa itu namun, tak ada festival-festival yang disajikan mengingat taraf kehidupan masyarakat masih rendah sekali.     

Peserta Kongres Bahasa Indonesia Pertama itu yang diundang dan yang bakal hadir pada umumnya adalah tokoh-tokoh Bahasa Indonesia, para sastrawan, para budayawan, tokoh-tokoh masyarakat, yang oleh penulis tidak semuanya dapat diingat nama-namanya.

Diantara tokoh-tokoh Bahasa Indonesia dan sastrawan-sastrawan yang hadir dalam Kongres itu seingat saya ialah Muhammad Yamin karena kebetulan pada waktu itu beliau menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, Kebudayaan (PP dan K) pada masa Kabinet Ali Idan Kabinet Ali II.

Sebagai tempat penyelenggaraan Kongres dipakailah sebuah gedung bioskop, namanya Bioskop Oranye, yang tak lama kemudian gedung ini pernah dijadikan kantor Djawatan Kebudayaan. Gedung Bioskop Oranye tersebut terletak di Jalan Bali, bersisian dengan rel kereta api, dekat dengan Stasiun KA Medan.

Di seberang rel kereta api itulah pada waktu itu terdapat dua Hotel besar di depan Lapangan Merdeka (Esplanade) yang dapat menampung ratusan orang utusan Kongres. Dua Hotel tersebut yang satu bernama "Grand Hotel", kini hotel itu sudah tidak ada lagi, bangunannya dirubah dan kini menjadi Kantor Bank Mandiri.

Dulunya Grand Hotel depan Lapangan Merdeka (mapio.net)
Dulunya Grand Hotel depan Lapangan Merdeka (mapio.net)
Yang satu lagi bernama Hotel De Boer berhadapan dengan Kantor Pos Besar Medan. Hotel ini masih ada sampai sekarang dan namanya sudah berganti dengan Hotel Dharma Deli. Hotel ini terletak di Jln. Balaikota.

Gambar kiri Hotel de Boer sekarang menjadi Hotel Dharma Deli (kanan) [sumber kaskus.co.id]
Gambar kiri Hotel de Boer sekarang menjadi Hotel Dharma Deli (kanan) [sumber kaskus.co.id]
Kantor Pos Besar Medan dimana sampai sekarang masih terlihat asli dan jadi gedung cagar budaya (flickr.com)
Kantor Pos Besar Medan dimana sampai sekarang masih terlihat asli dan jadi gedung cagar budaya (flickr.com)
Banyak utusan yang menginap di dua hotel itu selama Kongres berlangsung. Dari utusan-utusan yang menghadiri Kongres itu, seingat saya, antara lain. St. Mohd. Zein penulis Kamus Modern Bahasa Indonesia, Marah Rusli penulis buku Siti Nurbaya, Abdul Muis penulis Salah Asuhan, Nur Sutan Iskanda atau N. St. Iskandar penulis Salah Pilih, Sutan Takdir Alisyahbana penulis Layar Terkembang.

Selanjutnya Achdiat Kartamihardja penulis Atheis, Buyah Hamka penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Asrul Sani penulis Tiga menguak Takdir, Sitor Situmorang penulis Darah dan Doa (skenario film), J. E. Tatengkeng penulis syair Rindu Dendam,  Pramoedya Ananta Toer penulis buku Bukan Pasar Malam.

Kemudian Armijn Pane penulis Belenggu, H. B. Yassin penulis Pantjaran Tjita, Bagindo Saleh penulis Puspaneka, Rustam Effendi penulis buku Bebasari, Utuy Tatang Sontani penulis Tambora, Sanusi Pane penulis Pantjaran Tjinta, dan sebagainya.

Dari Sumatera Utara setahu saya yang mendapat undangan adalah Madong Lubis, G. B. Josua, dan beberapa guru-guru senior yang mengajar Bahasa Indonesia. Para pejabat Negara Sumatera Utara juga hadir pada Kongres tersebut, terutama pada waktu pembukaan yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh bahasa dan sasterawan-sasterawan, baik daerah maupun nasional, yang hadir tetapi saya, penulis risalah ini, tidak ingat sama sekali nama-nama mereka semuanya. Pada waktu Kongres Bahasa Indonesia itu dibuka, saya penulis risalah ini, baru duduk di bangku sekolah SMP Kelas 1 (satu). Meskipun saat itu saya masih kecil tetapi perhatian saya pada sastra dan bahasa Indonesia cukup besar.

Memang, saya sendiri sangat mengagumi tokoh-tokoh bahasa dan sastrawan itu tetapi saya sendiri tidak dapat berjumpa dengan semua tokoh-tokoh itu untuk berkenalan walau keinginan untuk itu cukup besar. Hanya seorang saja yang saya sendiri dapat bertemu dan berkenalan dengannya, yaitu Nur Sutan Iskandar atau N. St. Iskandar karena tokoh Balai Pustaka ini kebetulan menginap di rumah saya sendiri selama Kongres berlangsung. Alangkah gembiranya hati saya dapat berkenalan dengan pengarang Salah Pilih itu.

Mengapa beliau itu bisa menginap di rumah saya, tiada lain disebabkan ayah saya sendiri, Abd. Wahid Er., mantan Bupati Labuhan Batu, Bupati Tapanuli Selatan, Bupati Aceh Selatan, adalah kemanakan dari N. St. Iskandar sendiri sama-sama berasal dari Maninjau, Sumatera Barat.

Saya harus memanggil N. St. Iskandar itu dengan sebutan Nambo dalam bahasa Minangkabau. Kalau dalam bhs. Indonesia disebut Kakek, atau dalam bhs. Melayu disebut Atok.

Dalam waktu-waktu senggang saya ambil kesempatan itu berbincang-bincang dengan beliau tentang bahasa maupun sastera Indonesia. Dia merasa heran, mengapa saya yang masih begitu kecil, masih duduk dibangku kelas satu SMP, tetapi sudah menguasai banyak tentang bahasa dan sastra Indonesia. 

Dari situlah dia tahu saya ini senang pada buku-buku apa saja dan memang, kemudian setelah dia kembali ke Jakarta dia banyak mengirimkan buku-buku kepada saya. Bukan main besar hati saya menerima buku-buku itu, hampir sepuluh judul semuanya. Tetapi, di dalam berbincang-bincang itu dia dapat pula melihat aanleg atau bakat yang ada pada diri saya. Untuk mengetahui secara pasti dia mencoba melakukan test pada pribadi saya.

Dimintanya saya membuat sepotong surat untuk meminta buku kepadanya. Lalu, permintaannya itu saya kerjakan saat itu juga dan setelah selesai saya serahkan kepadanya. Setelah membaca surat saya itu dia merasa kagum dengan isi surat saya tersebut. Dia menilai, anak sekecil ini sudah mampu membuat surat dengan tulisan yang begitu rapi dan menggunakan bahasa Indonesia yang baku sehingga surat saya itu dinilainya setara dengan surat-surat orang dewasa.

Lalu, dia mengatakan kepada ayah saya bahwa saya dinilainya punya kemampuan menjadi penulis di kemudian hari. Penilaiannya itu tidak membuat saya sombong, malah saya terus berlatih membuat tulisan-tulisan berbagai macam ungkapan yang masih bisa saya tulis pada saat itu. Sayangnya tulisan-tulisan saya itu tidak pernah dipublikasikan.

Sebaiknya kita tinggalkan saja dahulu pertemuan saya dengan tokoh Pengarang Besar Balai Pustaka, N. St. Iskandar, yang memang bagi saya akhirnya beliau itu menjadi stimulator buat saya untuk terus berkarya. Akhirnya Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Medan itu banyak memberi kesan dan inspirasi bukan hanya kepada tokoh-tokoh Bahasa dan tokoh-tokoh Penulis saja tetapi juga pada masyarakat Kota Medan, terutama generasi mudanya.

Banyak dari kalangan generasi mudanya melahirkan penulis-penulis baru walau untuk mengembangkan bakatnya masih belum mendapat tempat yang selayaknya. Tetapi, kita sudah merasa puas karena mereka itulah bibit-bibit penerus. Hanya dalam perjalanan Bahasa Indonesia itu sampai kepada masa sekarang ini banyak mengalami penyimpangan-penyimpangan sedikit banyaknya.

Bahasa Indonesia itu sekarang ini susah dibedakan mana yang masih baku dan mana pula yang sudah terseret ke alam selera pelaku-pelakunya. Akhirnya harus diakui Bahasa Indonesia itu tidak lagi terpelihara saat ini.

Sering kita lihat di sinetron-sinetron ucapan-ucapan yang sudah keluar dari Bahasa Indonesia baku. Sebagai contoh, mandiin seharusnya mandikan, begitu pula pasangin seharusnya pasangkan, jauhin seharusnya jauhkan.

Banyak lagi contoh-contoh lainnya, terutama beberapa istilah, yang kalau dicermati istilah-istilah itu tidak sesuai dengan standard istilah dalam Bahasa Indonesia. Disini kita tidak memberikan contoh karena nanti akan menambah panjang uraian kita tentang Kongres Bahasa Indonesia ini.

Setelah di Medan dilakukan lagi Kongres Bahasa Indonesia, entah berapa kali saya sendiri kurang ingat. Namun, untuk mereview itu semua, menurut saya, rasanya perlu sekali lagi Kongres Bahasa Indonesia itu dilaksanakan di Medan.

Bukan hanya mengingat bahwa di Kota Medan itu pernah dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia saja tetapi juga untuk menyampaikan appeal kepada seluruh bangsa Indonesia untuk mengikuti jejak masyarakat Kota Medan yang sampai sekarang ini masih konsisten menggunakan bahasa Indonesia itu secara baku. Boleh jadi juga dengan diadakannya Kongres Bahasa Indonesia itu sekali lagi di Kota Medan akan membawa suasana baru pada perkembangan Sastera Indonesia yang belakangan ini kita melihat sedang mengalami pasang surutnya.

Bukan kita tidak mengakui bahwa kini banyak lahir penulis-penulis baru tetapi yang masih memprihatinkan kita kebanyakannya dari penulis-penulis baru itu bersarang didalam kancah sastera populer, bukannya sastera literasi.Maka dengan demikian nama-nama penulis baru itu tidak bisa bertahan lama, satu waktu mereka hilang dari peredaran.

Kita ingin membangun sekali lagi sastera literasi sebagaimana halnya dahulu dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Pujangga '45, dan sebagainya. Kini impian seperti itu sepertinya tidak terlintas lagi didalam pikiran. Kita rindukan yang demikian karena cintanya kita kepada Bahasa Indonesia yang dalam kedudukannya sekarang ini sebagai bahasa persatuan.Kita ingin sekali lagi membangun Sastera Indonesia yang literasi, semua literaturnya menjadi bahan perbincangan dan bahan kajian.

Mungkinkah itu?  Semua terpulang kepada bangsa Indonesia itu sendiri, terutama generasi mudanya sekarang ini, yang memegang masa depan bangsa. Bangkitnya Sastera Indonesia itu berarti bangkitnya peradaban di Indonesia.***           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun