Mohon tunggu...
Wahid Fathurohman
Wahid Fathurohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah surakarta jurusan Ilmu AlQuran dan Tafsir

Konten kreator di intagram @wahiidfathuu_ dan pengajar Tahfidz di Rumah Quran Muhammad Darwis Colomadu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Kepribadian Menurut Imam Al-Ghazali

22 Juli 2024   09:32 Diperbarui: 22 Juli 2024   09:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu disiplin ilmu yang medalami mengenai kepribadian adalah ilmu psikologi kepribadian, rujukan yang diambil kebanyakan orang adalah teori-teori dari barat. Padahal ternyata banyak sumbangsih dari pemikiran tokoh muslim dari timur Tengah diantaranya adalah Imam Al-ghazali. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa kepribadian seseorang adalah sifat, watak, atau karakter yang dilakukan tanpa disadari oleh seseorang dan menjadi sumber perilaku yang ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

 Ada dua bagian penting yang perlu digarisbawahi dari konsep kepribadian menurut Imam Al-Ghazali, yaitu kesesuaian dan ketidaksadaran. Kesesuaian berarti bahwa individu melakukan perilaku yang berkelanjutan atau konsisten dengan perilaku sebelumnya. Sedangkan ketidaksadaran adalah ketika individu melakukan perilaku secara spontan atau tanpa sadar, karena telah menjadi kebiasaan atau tabiat. Ada beberapa bagian yang menjadi pusat kajian Imam Al-Ghazali tentang kepribadian manusia, yaitu al-jasad, al-ruh, dan al-nafs.

 Al-jasad (tubuh)

      Al-jasad merupakan tubuh fisik manusia. Jasad merupakan bagian manusia yang bisa dilihat, disentuh, dan diukur. Al-jasad merujuk pada tubuh fisik manusia. Ini adalah aspek material dari manusia yang dapat dilihat, disentuh, dan diukur. Tubuh adalah kendaraan yang memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan dunia fisik melalui panca indera dan gerakan. Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga kesehatan tubuh, karena tubuh yang sehat mendukung aktivitas spiritual dan mental.

 Al-ruh (Roh)

      Al-ruh merujuk pada sesuatu yang melekat pada fisik manusia. Ini adalah aspek  dari manusia yang tidak dapat dilihat, disentuh, dan diukur.

Al-nafs (jiwa)

      Al-nafs dalam pandangan Al-ghazali merupakan bagian manusia yang mencakup emosi, keinginan dan dorongan terhadap sesuatu. Nafs dapat mempengaruhi perilaku manusia, baik perilaku yang positif maupun perilaku yang negatif. Imam Al-ghazali membagi nafs menjadi 3, yaitu:

1. Nafs ammarah

      Nafs amaarah adalah jiwa yang menyeru kepada perbuatan jahat/ keburukan. Sebagaimana telah disebutkan dalam surat yusuf:

وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

      Nafs ammarah cenderung dikuasai oleh kejahatan, berorientasi pada kesenangan indrawi dan keinginan duniawi,kegairah dan pemuas diri. Nafs ini dapat terceminkan dala perilaku tamak, suka marah, iri hati, sombong, mementingkan kepentingan sendiri dan perilaku buruk lainya. 

Dorongan hawa nafs ammarah membuat manusia cenderung berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial. Contohnya termasuk sikap tamak, yaitu ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki hingga melakukan cara-cara licik untuk mendapatkan lebih. 

Riya adalah perilaku memamerkan diri dengan menunjukkan kelebihan yang dimiliki, meskipun yang dilakukan adalah kebaikan atau ibadah. Zina juga merupakan perilaku yang berasal dari nafs ammarah, karena sangat menyimpang dari norma agama dan sosial, sehingga pelakunya akan menerima hukuman atas tindakannya.

2. Nafs lawwamah

      Nafs lawwamah merupakan jiwa yang menyesal. Nafs ini mendorong manusia untuk melakukan pertaubatan dan jujur. Mengenai nafs lawwamah ini Allah sebutkan dalam Qs Al-Qiyamah ayat 2:

وَلَآ أُقْسِمُ بِٱلنَّفْسِ ٱللَّوَّامَةِ

Artinya: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).

      Nafsu lawwamah membuat seseorang berpikir lebih rasional dan cenderung berbuat kebaikan, namun hawa nafsu tetap bisa menarik seseorang untuk melakukan keburukan. Seseorang mungkin melakukan kebaikan seperti sholat, puasa, dan sedekah. Namun, sering kali mereka juga tergoda untuk melakukan hal-hal buruk, baik secara sadar maupun tidak. Dengan adanya nafs lawwamah, seseoramg diarahkan untuk menyadari kesalahan mereka dan bertaubat atas perilaku buruk yang telah dilakukan.

3. Nafs mutmainnah

      Nafs mutmainnah merupakan jiwa yang tenang. Sebagaimana Allah sebutkan dalam QS Al-Fajr ayat 27:

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ

Artinya: wahai jiwa yang tenang

      Nafs mutmainnah atau jiwa yang tenang ini hasil dari keyakinan penuh kepada Allah sehingga dia merasa tenang karena dia merasa selalu diawasi dan selalu bersama Allah. Nafs al-muthmainnah adalah tingkatan tertinggi dari nafs menurut Imam Al-Ghazali. Pada tingkatan ini, seseorang memiliki jiwa yang lembut, suci, dan penuh kecintaan kepada Allah SWT. 

Seseorang dengan nafs ini benar-benar dekat dengan Allah SWT dan telah mencapai puncak spiritualitas menurut klasifikasi nafs oleh Imam Al-Ghazali. Tidak banyak orang yang mencapai tingkatan ini, mengingat manusia cenderung melakukan kesalahan. Namun, bukan berarti tidak mungkin. 

Tingkatan nafs al-muthmainnah adalah kerahasiaan antara individu dan Tuhannya. Strata nafs kepribadian yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali memberikan gambaran bagi kita untuk mengenali kategori nafs kita, apakah nafs ammarah, nafs lawwamah, atau nafs muthmainnah. Tentu saja, kita sendirilah yang dapat menentukan ini. Imam Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa nafs bukanlah sesuatu yang mengikat, melainkan sesuatu yang bisa kita arahkan dan kendalikan. Dengan demikian, kita dapat mengarahkannya menuju kebaikan (Bouti, 2023).

      Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya jiwa manusia itu memiliki kecenderungan untuk berbuat baik atau buruk. Dan yang menentukan untuk berbuat baik atau buruk merupakan diri kita sendiri. Kecenderungan kepada kebaikan akan mendorong seseorang melakukan kebaikan / keburukan yang Ketika kebaikan/keburukan itu terus dilakukan akan membentuk sebuah kebiasaan yang mampu membentuk karakter atau kepribadian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun