Mohon tunggu...
Wahdi Ar
Wahdi Ar Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Penikmat Kretek yang bisa baca tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan: Menelusuri Pemikiran Rusdi Mathari

2 Januari 2025   13:16 Diperbarui: 2 Januari 2025   13:16 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Rusdi Mathari, Tirto.id (https://images.app.goo.gl/JgSs1TYznWu9m9iC8)

Dalam era digital saat ini, peran jurnalisme tidak lagi eksklusif untuk mereka yang berprofesi sebagai wartawan. Transformasi teknologi telah membuka jalan bagi siapa saja untuk menjadi pewarta, baik melalui media sosial, blog, hingga platform berbagi video. 

Fenomena ini menginspirasi pemikiran mendalam dari Rusdi Mathari, seorang jurnalis kawakan yang dikenal karena gagasan progresifnya dalam dunia media.

Dalam bukunya "Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan", Rusdi menawarkan pandangan kritis tentang jurnalisme modern, tantangan yang dihadapi media arus utama, dan peran masyarakat dalam menciptakan informasi.

Rusdi Mathari memulai kariernya sebagai wartawan dengan penuh dedikasi dan idealisme. Dalam buku ini, ia menceritakan perjalanan panjangnya, termasuk berbagai tantangan yang dihadapinya, seperti tekanan dari pemilik media untuk menulis berita yang menguntungkan kepentingan tertentu.

Rusdi mengisahkan pertemuannya dengan tokoh besar jurnalisme Indonesia, Jakob Oetama, yang mengajarkan pentingnya prinsip jurnalisme sebagai panggilan moral.

Pengalaman-pengalaman ini membentuk pandangan Rusdi bahwa jurnalisme tidak hanya soal mencari berita, tetapi juga soal keberanian menyampaikan kebenaran.

Ia percaya bahwa seorang jurnalis harus memiliki integritas tinggi untuk tetap independen, meskipun menghadapi berbagai tekanan.

Salah satu isu utama yang diangkat dalam buku ini adalah konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang.

Kondisi ini, menurut Rusdi, menciptakan media yang tidak lagi independen, melainkan menjadi alat propaganda bagi kelompok tertentu.

Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media arus utama.

Rusdi juga menyoroti kecenderungan media untuk mengejar sensasi demi mendapatkan klik dan rating. 

Ia mengungkapkan bagaimana tekanan ini mendorong wartawan untuk melanggar etika, seperti menciptakan berita fiktif atau menyajikan informasi secara tidak seimbang.

Kasus terkenal seperti skandal wartawan The Washington Post yang menciptakan cerita palsu menjadi contoh nyata dari kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh budaya ini.

Di tengah keterbatasan media arus utama, Rusdi melihat potensi besar dalam jurnalisme warga. Ia mencatat bahwa siapa saja kini dapat melaporkan peristiwa penting, baik melalui blog, media sosial, maupun kanal independen lainnya. Fenomena ini mengubah definisi jurnalisme itu sendiri, dari yang semula bersifat eksklusif menjadi inklusif.

Namun, Rusdi juga mengingatkan bahwa jurnalisme warga bukan tanpa tantangan.

Salah satu masalah utama adalah penyebaran berita palsu (hoaks) yang sering kali disebarkan tanpa verifikasi.

Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk belajar memahami prinsip dasar jurnalisme, seperti verifikasi, keakuratan, dan keadilan.

Rusdi menyoroti bagaimana media di Indonesia sering kali digunakan sebagai alat politik, terutama dalam konteks pemilu.

Ia mengungkapkan bagaimana isu agama sering digunakan untuk mempolarisasi masyarakat dan menciptakan ketegangan sosial.

Media, menurutnya, sering kali menjadi perpanjangan tangan dari aktor politik yang ingin memengaruhi opini publik.

Dalam konteks ini, Rusdi menyerukan pentingnya menjaga independensi media. Ia percaya bahwa media harus berdiri di atas kepentingan masyarakat, bukan sekadar menjadi alat bagi segelintir elit.

Rusdi optimistis bahwa jurnalisme masih memiliki masa depan yang cerah, asalkan pelakunya mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Ia melihat potensi besar dalam kolaborasi antara wartawan profesional dan jurnalisme warga untuk menciptakan ekosistem informasi yang lebih sehat.

Namun, ia juga menekankan perlunya pendidikan media bagi masyarakat. Menurutnya, literasi media adalah kunci untuk membantu masyarakat memahami bagaimana membedakan informasi yang valid dari yang menyesatkan.

Buku "Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan" mengingatkan kita bahwa jurnalisme adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya milik wartawan profesional.

Dalam dunia yang semakin terhubung, setiap individu memiliki potensi untuk menjadi pewarta. 

Namun, dengan potensi itu datang tanggung jawab besar untuk menjaga kebenaran dan keadilan dalam informasi yang disampaikan.

Rusdi Mathari mengajak kita untuk merenungkan kembali peran jurnalisme dalam kehidupan kita, sekaligus menginspirasi kita untuk menjadi bagian dari perubahan positif dalam dunia informasi. 

Sebagaimana yang ia sampaikan dalam buku ini, jurnalisme bukan sekadar profesi, tetapi juga panggilan moral untuk melayani kebenaran. 

Referensi:

- Mathari, Rusdi. "Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan."  

- Artikel ulasan di [Mojok.co](https://mojok.co).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun