Rusdi juga menyoroti kecenderungan media untuk mengejar sensasi demi mendapatkan klik dan rating.Â
Ia mengungkapkan bagaimana tekanan ini mendorong wartawan untuk melanggar etika, seperti menciptakan berita fiktif atau menyajikan informasi secara tidak seimbang.
Kasus terkenal seperti skandal wartawan The Washington Post yang menciptakan cerita palsu menjadi contoh nyata dari kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh budaya ini.
Di tengah keterbatasan media arus utama, Rusdi melihat potensi besar dalam jurnalisme warga. Ia mencatat bahwa siapa saja kini dapat melaporkan peristiwa penting, baik melalui blog, media sosial, maupun kanal independen lainnya. Fenomena ini mengubah definisi jurnalisme itu sendiri, dari yang semula bersifat eksklusif menjadi inklusif.
Namun, Rusdi juga mengingatkan bahwa jurnalisme warga bukan tanpa tantangan.
Salah satu masalah utama adalah penyebaran berita palsu (hoaks) yang sering kali disebarkan tanpa verifikasi.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk belajar memahami prinsip dasar jurnalisme, seperti verifikasi, keakuratan, dan keadilan.
Rusdi menyoroti bagaimana media di Indonesia sering kali digunakan sebagai alat politik, terutama dalam konteks pemilu.
Ia mengungkapkan bagaimana isu agama sering digunakan untuk mempolarisasi masyarakat dan menciptakan ketegangan sosial.
Media, menurutnya, sering kali menjadi perpanjangan tangan dari aktor politik yang ingin memengaruhi opini publik.
Dalam konteks ini, Rusdi menyerukan pentingnya menjaga independensi media. Ia percaya bahwa media harus berdiri di atas kepentingan masyarakat, bukan sekadar menjadi alat bagi segelintir elit.