Lamunannya buyar ketika seorang anak kecil berlari menghampirinya. Ayu, murid kelas empat yang ceria, menatapnya dengan mata polos penuh harap.
"Bu Guru, apa sekolah kita masih bisa dipakai?" tanyanya.
Raya berjongkok, menatap mata Ayu. "Tentu saja, Ayu. Kita akan cari cara supaya kalian tetap bisa belajar."
Ayu tersenyum lebar dan berlari keluar, bergabung dengan teman-temannya yang sedang bermain di bawah pohon besar. Melihat keceriaan mereka, Raya merasa tekadnya semakin kuat.
Malam itu, Raya menggelar rapat di balai desa. Pak Adi, beberapa warga, dan orang tua murid hadir. Suasana hening ketika Raya mulai bicara.
"Bapak dan Ibu, kita semua tahu kondisi sekolah saat ini. Kita tidak bisa hanya menunggu bantuan pemerintah. Apa ada ide bagaimana kita bisa memperbaiki sekolah bersama-sama?" tanyanya.
Pak Adi menjadi yang pertama angkat bicara. "Mungkin kita bisa bergotong royong. Kita pakai bahan-bahan yang ada dulu. Setidaknya anak-anak bisa belajar lagi."
Seorang ibu menyela, "Tapi, Pak, bahan bangunan sekarang mahal. Bagaimana kita mendapatkannya?"
Raya mendengarkan semua pendapat dengan seksama. Setelah semua selesai berbicara, ia mengajukan usul. "Bagaimana kalau kita mengadakan penggalangan dana? Saya juga bisa meminta bantuan teman-teman saya di kota. Kita tunjukkan kondisi sekolah kita, siapa tahu ada yang mau membantu."
Mereka semua setuju meski ada keraguan. Desa Sukomulyo jarang mendapatkan perhatian dari luar, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Usaha harus dimulai.
Hari-hari berikutnya menjadi hari-hari penuh kerja keras. Raya menulis surat ke berbagai lembaga, mengirim pesan kepada teman-teman lamanya, bahkan membuat video sederhana untuk menunjukkan kondisi sekolah kepada dunia luar. Ia meminta seorang pemuda desa yang memiliki ponsel pintar untuk membantunya merekam.