Hujan deras mengguyur Desa Sukomulyo sejak pagi, membasahi bumi yang haus sekaligus melukis langit dengan kelabu yang tebal. Cahaya mentari nyaris tak mampu menembus pekatnya awan, meninggalkan desa itu dalam kesejukan yang mendalam. Di sudut desa yang tenang, sebuah bangunan seperti sekolah yang kecil berdinding kayu berdiri kokoh meski diterpa angin dan hujan. Aroma tanah basah bercampur bau kayu tua memasuki indera penciuman, membawa rasa damai tersendiri.
Di dalam rumah itu, seorang wanita muda tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen di atas meja kayu sederhana. Ia adalah Raya, seorang guru muda yang baru enam bulan lalu ditugaskan pemerintah ke desa ini. Meski fasilitas serba terbatas dan tantangan sering menghadang, semangatnya tak pernah surut. Bagi Raya, anak-anak Desa Sukomulyo adalah harapan yang harus terus dijaga. Mereka adalah alasan ia bertahan.
"Bu Guru Raya, ada tamu!" suara cempreng seorang anak kecil membuyarkan konsentrasinya. Dari balik jendela, ia melihat Didi, salah satu muridnya, melambaikan tangan sambil menunjuk ke arah pintu.
Raya segera bangkit dan membuka pintu. Di depan sana, berdiri Pak Adi, kepala desa, dengan mantel basah yang menutupi tubuhnya. Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk sopan.
"Permisi, Bu Raya. Maaf mengganggu," ucap Pak Adi dengan nada serius, "Tapi saya ingin menyampaikan kabar penting."
Raya mempersilakan tamunya masuk. Ia segera menyiapkan secangkir teh hangat sebelum duduk di seberang Pak Adi. Suara hujan di luar menjadi latar belakang percakapan mereka.
"Saya ingin memberitahu bahwa atap salah satu kelas di sekolah kita roboh pagi ini karena hujan deras," kata Pak Adi, suaranya terdengar berat dan sedih. "Untungnya tidak ada anak-anak di sana, tapi ruangan itu sekarang tidak bisa dipakai. Saya khawatir anak-anak tidak bisa belajar dengan baik jika ini dibiarkan."
Berita itu menusuk hati Raya. Ia pun terdiam sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Setelah beberapa saat, ia mengangguk mantap. "Saya akan melihat kondisi sekolah sore ini, Pak. Kita harus cari cara agar anak-anak tetap bisa belajar."
Pak Adi tersenyum kecil. "Terima kasih, Bu. Kami tahu ini tidak mudah, tapi kami semua mendukung Ibu."
Setelah hujan reda, Raya berjalan ke sekolah dengan payung di tangan. Ia melewati jalan tanah yang licin dan berlumpur, mendapati bangunan sekolah yang tampak lebih rapuh dari biasanya. Di salah satu kelas, atap seng yang sudah tua dan berkarat jatuh menimpa meja-meja kayu yang lapuk. Ruangan itu kini hanya puing.
Raya berdiri di ambang pintu, memandang kerusakan itu dengan hati yang berat. "Bagaimana kita bisa memperbaikinya?" gumamnya. Ia tahu dana dari pemerintah terbatas, sementara warga desa sendiri hidup dengan penghasilan seadanya.