Mohon tunggu...
Wahana Dharma
Wahana Dharma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Psikologi Sayur Asem

28 April 2017   00:15 Diperbarui: 28 April 2017   09:00 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat datang. Inilah era baru ilmu psikologi. Dalam era baru ilmu psikologi, pada prinsipnya, semua "keluhan" manusia terkait dengan status dan tatanan budaya psikologis yang terbentuk kemudian. Saat ini kita mengenal masyarakat yang neurosis, paranoid dan delirium, alias tidak sepenuhnya menyadari keberadaan dirinya. Hal ini membuat kondisi psikopat teramat mudah ditemui. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki satu atau lebih gejala psikopat.

 Namun, kunci berbagai penyimpangan itu sesungguhnya sangat sederhana. Otak kita dapat diasumsikan atau dibayangkan seperti sebuah panci sayur asem. Secara proporsional, otak akan menakar bahan-bahan yang akan digunakan sebagai pembentuk produk mental. Takaran  ini bisa tidak tepat, bisa kelebihan atau kekurangan. Penyebabnya adalah alat penakarnya bisa juga mengalami gangguan atau ketidaksempurnaan.

 Memori yang diperankan oleh sistem limbik dan lobus temporalis di kulit otak bisa menekan secara berlebihan sebuah peristiwa kecil yang dibesar-besarkan. Sistem yang lain seperti penciuman, bisa memberikan masukan yang tidak relevan, mengaitkan suatu suasana (atmosfer) dengan sebuah situasi yang berlebihan, atau bahkan didesentisisasi, sesuatu yang bermakna dalam hanya didefinisikan kulitnya. Bagian-bagian lain pun berlomba-lomba menyumbangkan kontribusinya di dalam panci kita, apabila semua bahan dan bumbu pas, akan terhidang sayur asem yang nikmat!

 Kapan sayur asem dapat menjadi lebih nikmat? Sayur asem terasa lebih nikmat pada saat secara berulang-ulang dipanasi. Dengan itu, bumbunya terserap dengan sempurna dan kuahnya semakin terwarnai oleh kaldu. Sungguh cita rasa yang begitu nikmatnya!

 Bagaimana asumsi tersebut dapat menjelaskan penyimpangan psikologi yang terjadi? Begini, pada saat otak kebanyakan "garam" atau dengan kata lain, ada satu atau lebih variabel yang terlibat dalam proses mental, tetapi kadarnya tidak sesuai, sayur asem kita akan "keasinan" alias kebanyakan garam! Apa upaya kita untuk mengatasinya?  

Mudah saja, tambahi air sehingga gejala psikologis yang tampak dan terukur atau terpantau dari hasil observasi dan pengujian psikologi sesungguhnya adalah air yang dipergunakan untuk mengencerkan kuah dan mengurangi dampak keasinan. Apa yang terlihat? Ketidakproporsionalan dan ketidakseimbangan antara bahan, bumbu dan kuah. Dengan kata lain, kuahnya encer, sayurnya sedikit dan sporadis, sehingga ketika kita sendoki yang kita dapatkan adalah kuah lagi dan kuah lagi.

 Namun, otak ingin sayur asemnya tetap tidak keasinan, sehingga gejala berikut yang dapat kita cermati adalah peristiwa "mirror". Kita senantiasa bercermin pada produk mental kita sendiri. Apabila kita kerap menyakiti dan berprasangka buruk kepada orang lain, kita akan menjadi pribadi paranoid yang menduga bahwa setiap orang berkonspirasi untuk menjelekkan dan memusuhi kita.

 Bagaimana hal itu dapat terjadi? Hal tersebut dapat terjadi karena kita tidak mendapatkan informasi yang akurat dan adekuat (intensitasnya terjaga) tentang suatu kondisi di luar sana, sehingga kita akan melindungi diri kita dengan cara berusaha mengontrol semua yang terjadi.

 Apa yang terjadi dan berlaku kemudian? Kita akan menyerah dalam limitasi atau keterbatasan. No one can control everything, include the thing that related with his/her life. Inilah induk dari obsesif, posesif dan ansietas. Pribadi yang kemudian terbentuk adalah pribadi kompulsatori yang berusaha melestarikan sensasi nyaman yang pernah dirasakannya dengan cara hanya berjalan di tempat dan mengulang-ulang aktivitas yang pernah dilakukannya.

 Hasilnya apa? Sensasi yang diharapkan tidak akan pernah terulang kembali. Bahkan, jika dapat terulang magnitudonya tidak akan pernah menyamai apa yang pernah dirasakan. Oleh karena itu, apabila  kita telah selesai mengerjakan suatu kebaikan, marilah kita set-up kebaikan baru lainnya yang jauh lebih menggairahkan. Itulah inti hidup secara psikologi, sehingga kita menjadi  bermartabat pada saat dapat bermanfaat.

 Sekarang kita kaji kembali tentang sayur asem keasinan dan hal ini pada gilirannya akan menjadi sayur asem encer yang kebanyakan kuah. Proses perbaikan pasti terjadi, proses pematangan juga pasti berjalan terus. Jika kita ibaratkan, kedua proses tersebut adalah "kompor" yang terus memanasi dan menjadikan "suhu" sebagai katalisator terbaik yang mampu melajukan reaksi.

 Namun, apa yang diperbuat oleh otak sayur asem encer? Otak tidak ingin molaritas kadar garam dalam kuahnya berubah. Otak ingin tetap encer karena encer tidak asin dan keasinan itu tidak enak. Oleh karena itu, ketika sebagian kuahnya diuapkan secara paksa oleh "kompor" kehidupan, otak membangun mekanisme "mirror", cermin atau kaca yang menghalangi proses penguapan (evaporasi).

 Sayur asem memag sebagian kuahnya akan menguap, tetapi karena ada kaca, ia akan menyublim dan mencair kembali, serta dengan bantuan gravitasi, ia akan jatuh dan menetes kembali ke panci. Sayur asem menjadi tidak asin lagi.

 Apakah sayur itu lebih baik tidak asin? Tidak, terkadang keasinan akan jauh lebih sehat dibandingkan dengan rasa yang pas, tetapi  tidak apa adanya. Proses "mirror" dan proyeksi balik diri kita via kaca tak kasat mata itu akan tercermin dalam perilaku dependensi, posesif, depresi dan psikosomatis (gejala jasmaniah yang menyangkut psikis, emosi dan kejiwaan). Terkadang juga disertai dengan perilaku agresi, arogansi, dan alienasi. Orang-orang yang "mengaku" atau tampaknya seperti mengalami gangguan kejiwaan itu sesungguhnya hanyalah sayur asem yang keenceran, kok!

 Jadi bagaimana yang ideal itu? Sayur asem yang ideal, "bumbunya" harus prediktif dan peduli masa depan. Artinya, si sayur asem sudah menghitung dengan tepat setelah berapa kali pemanasan ia akan menjadi super lezat dan "isinya" masih mencukupi  untuk dikonsumsi dan dinikmati oleh orang banyak. Bukankah Allah SWT telah memperingatkan kepada kita bahwa menjadi pribadi taqwa itu dicirikan melalui sikap pembelajar dan perencana yang andal?

 Hal terpenting apa yang dapat kita pahami dari teori sayur asem ini? Hal pentingnya adalah pemahaman tentang efek proyeksi balik dari kaca maya yang berupa kemunculan "halusinasi kognitif". Nilai-nilai yang kita pancarkan akan memantul balik dan "menyilaukan" akal sehat kita. Bahayanya, jika sedang berada dalam kondisi "silau" itulah kita akan membuat dan menginternalisasi nilai, definisi atau memaknai dengan cara kita sendiri. Jika hal itu terjadi, kita tidak akan mendapatkan gambaran obyektif dari kondisi riil karena terkendala efek pantulan, efek buram dan efek kejut dari "mirror" yang terbentuk. Akan terjadi sirkumstansi mental  yang bersifat delusional. Kita terjebak dalam mimpi dan nilai-nilai semu yang kita yakini sendiri.

Dr. Tauhid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun